Noura #1

0 komentar

“Bunda…”. Disandarkannya kepala ke pundak sang bunda, mencari rasa nyaman. Sebenarnya, yang dalam hatinyalah yang ingin Ia sandarkan. Ingin menitipkan sebagiannya, yang cemas dan gulana.

Di luar sana, rembulan serupa sabit yang ramping. Tanda jika bulan ini --Sya’ban, bulan kedelapan dari tahun hijriyah itu masih belia. Di langit, lembaran-lembaran awan mulai terpapar, bak selimut yang perlahan dihamparkan. Itu juga tanda, petunjuk waktu alamiah. Tanyakan saja pada para pecinta alam atau adik-adik pramuka penggalang, jam berapa biasanya awan mulai menyelimuti langit seperti malam itu? 

Dua perempuan, Ibu dan anak itu untuk beberapa saat membisu. Mencari waktu dan kalimat yang tepat untuk diutarakan. Dengan lembut, Noura menyerai-nyerai jari sang bunda. Sesekali dijabat erat, dibolak-balik dan dipandang lekat-lekat. Pikiran gadis itu terus memutar ulang kejadian sore tadi. Seorang lelaki yang cukup dikenalnya datang bertamu. Tanpa keluarga atau kolega yang mengantarnya, tanpa pemberitahuan sebelumnya menyampaikan hal yang begitu mengejutkan.
]©[

Jumat ini, seperti biasa Noura pulang tepat pukul 15.00. Entah mengapa, dia lewatkan satu kebiasaannya selepas kerja, berkunjung ke poliklinik Masjid Raya. Perasaan sudah menuntunnya untuk lekas-lekas pulang ke rumah. 

Hampir satu menit menunggu, akhirnya pintu terbuka.Perempuan berbaju sederhana tampak dari balik pintu.
“Assalamu’alaikum”. Ihya menguluk salam.
“Wa ‘alaikumussalaam”.
“Betul ini rumahnya dokter Hary?”
Nggeh, betul, Mas-nya mau ketemu Bapak? Sudah janjian?”.
“Oh, belum. Apa Bapak sedang kondur Bu?”.
“Oh, nggak Mas, Bapak ada kok, lagi sama Ibu di ruang keluarga”. Kata perempuan paruh baya itu.
“Syukurlah kalau Ibu juga ada”. Jawab Ihya.
“Tunggu sebentar ya Mas, saya tanya Bapak dulu”. Tanpa mempersilakan Ihya masuk, perempuan itu langsung balik badan dan meninggalkannya.

Menghadap dua daun pintu selebar 200 cm itu, Ihya tampak gugup. Wajahnya pucat perlahan-lahan. Benaknya melompat beberapa masa ke depan, kira-kira bagaimana takdirku satu atau dua jam berikutnya? Sesuai yang diharapkan atau sebaliknya? Begitulah. Pandangannya seakan menembus balkon lantai dua rumah itu. 

Manakala benaknya melompat-lompat seperti itu, sebuah suara membuatnya terjaga kembali.
Sinten nggeh?”.Perempuan bergamis ungu, berkerudung biru-violet menyapanya dari balik pintu. 
“Saya Ihya Bu, temannya Noura”. Jawab Ihya yang tetap tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Oh, monggo masuk Mas Ihya.Temannya Noura tha?”.
“Monggo... monggo... pinarak Mas Ihya”.
“Siapa Bu?”. Seorang lelaki seusia 50  tahunan muncul kemudian. Kumis tipisnya tercukur rapi, begitu juga rambut dengan uban sporadisnya. 
Teman kerjanya Noura Pak”.
“Oh,  temannya Noura tha? Lah, Noura masih di RS ‘kan Bu?”.
“Iya, paling bentar lagi juga pulang. Telat-telatnya sebelum maghrib biasanya”. Jawab Bu Rahma.

Ihya memperkenalkan diri, sedikit berbasa-basi termasuk mengklarifikasi bahwa dia bukanlah teman kerja Noura di Rumah Sakit. Mana mungkin dia bekerja di Rumah Sakit sementara dia hanya lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam.
“Jadi jenengan ini Ustadz tha, Saya kira teman kerja Noura di RS. Kenal dengan Noura di mana?”.  Tanya Bu Rahma.
“Tepatnya hanya pengajar TPA Bu”. Jawab Ihya sedikit tersipu. Dan, mungkin mulai dihinggapi rasa minder juga.
“Kenal Noura hampir setahun lalu Bu, biasanya kan ba’da ashar Noura membantu kami di masjid. Membantu operasional poliklinik. Kadang, jika tidak ada jama'ah yang minta ditensi atau sekedar tanya-tanya, Noura juga membantu kami mengajari anak-anak membaca Al-Quran”.
“Oh, begitu ya. Makanya Noura selalu pulang menjelang maghrib, padahal  jadwal di RS kan cuma sampai jam empat”. Timpal Bu Rahma. Pak Hary terlihat manggut sedikit, lalu dengan suara hematnya menanyai Ihya.
“Jadi, Nak Mas ini hendak bertemu Noura atau bagaimana?”.
“Oh, Anu... Pak, Bu, sebenarnya…”. 

Bunyi pintu mobil yang ditutup diiringi dengan bunyi kunci pengaman terdengar di luar sana. Dan, dalam hitungan detik terdengar salam dari pintu utama yang terhubung langsung dengan ruang tamu. 
“Assalamualaikum…”. Seorang perempuan muda berkerudung biru langit, jilbab biru laut serta jas putih di aisan tangannya muncul. Sekilas dia dan Ihya beradu pandang. Dua atau tiga detik mungkin. Entahlah ekspresi wajah mereka seperti apa.
“Sudah pulang nduk? kebetulan, ini ada temanmu silaturrahim ke rumah”.  Lagi, mereka dipaksa saling beradu pandang.
“Assalaamua’alik Mas Ihya…”. Perempuan muda yang tak lain adalah Noura itu memberi salam sambil menangkupkan tangan. Yang disalami membalas dengan cara yang sama.
"Duduk Nduk". Pinta Bu Rahma.
"Oh, Noura permisi sebentar Pak, Bu, Mas Ihya, nyimpan tas dan cuci muka dulu". Jawabnya.
Lima menit kemudian, Noura sudah ada bersama mereka. Duduk persis di samping Bu Rahma. Wajahnya terlihat lebih segar dibanding saat tadi datang, sepertinya baru teraliri air wudlu.

Ihya kembali memulai, menyampaikan maksud kedatangannya sore itu. Selain bersilaturrahim, ada maksud khusus yang ingin disampaikannya. Tepat saat kalimat inti itu diucapkan, Noura sedikit tercekat dari duduknya. Sebelah tangannya reflek menggamit tangan sang bunda.
“Mungkin ini kesannya tiba-tiba dan tanpa perencanaan.Tapi jujur saya sudah memikirkan dan menyiapkan segalanya jauh-jauh hari”.
“Termasuk datang sendiri seperti ini?”. Selidik dokter Hary. Alisnya terlihat sedikit kerung. Mungkin keheranan, untuk hal sepenting ini Ihya hanya datang sendirian saja. Padahal biasanya kalaupun tidak datang bersama orangtua minimal ada wakil dari orang yang dituakan.
Nggeh Pak, maaf”. Jawab Ihya. Ihya sepertinya insaf dengan pertanyaan dokter Hary. Etikanya Ihya datang bersama keluarga ataupun kolega. Tapi, seperti yang tadi disampaikannya, semua sudah atas pertimbangan terbaik menurut pemikirannya.
“Hmhhh…”. Sambil menghembuskan nafas --berat, dokter Hary memberikan konfirmasi. “Jujur, sebagai orangtua saya cukup terkejut, dan ya... saya fikir anda sangat berani”.
“Bagaimanapun, sebagaimana  tuntunan  agama kita, saya dan isteri masih punya hak untuk turut memilihkan suami yang terbaik untuk Noura. Ya kan Bu?”. Seru dokter Hary.
“Betul Mas Ihya, hanya perempuan yang pernah bersuamilah yang bebas menentukan pilihannya sendiri, begitu kan?". 
"Nggeh Bu". Sambil menganggukan kepala, Ihya menjawab. 
"Tapi kami tetap memberi kesempatan Noura jika ingin menyampaikan sesuatu”. Bu Rahma kemudian menujukan pandangan  pada Noura.

Beberapa saat Noura terdiam. Sepertinya berfikir dalam-dalam, memilah dan memilih kalimat  yang tepat untuk disampaikan. Sayup-sayup terdengar suara murattal dari masjid. Terdengar juga suara shalawat dan puji-pujian untuk Sang Rasul dari masjid lainnya. Sepertinya bedug maghrib akan segera tiba.
]©[
Lembar-lembar awan yang tadi perlahan-lahan rebak, kini sudah hampir menutupi langit malam itu. Bulan ramping itu pun hanya sesekali saja terlihat, kadang sabitnya malah hanya terlihat sebagai bayangin yang kabur. 

Udara malam sesekali bertiup agak kencang, menebar hawa dingin musim kemarau dari sela ventilasi rumah itu. Kebetulan Bulan Sya’ban tahun ini bertepatan bulan Juli pada penanggalan kalender masehi, kemarau sedang di puncaknya.
“Bu... sebaiknya Noura memberi jawaban seperti apa?”.
“Dari ceritamu barusan, cerita bagaimana perasaanmu padanya, bagaimana calon suami yang kau inginkan, bunda hanya bisa menyarankan satu hal, mohonlah petunjuk dari-Nya, shalat istikharah mulai malam nanti ya Nduk!”.

Bersambung ...


Cantikmu dan Cantiknya Beda

0 komentar

Pernah menghadiri pernikahan teman? nikahannya kenalan atau temannya teman? apa kesan Nouramates dengan mereka?
"WOW! pangling uy, jadi terlihat lebih cantik". Atau malah merasa penampilan teman Nouramates itu jadi aneh, terlihat pucat kayak mayat atau seram seperti vampire?

Noura sih lebih banyak mendapatkan kesan aneh, kadang jadi nggak kenal malah.
"Cantik atau Aneh itu relatif  Noura...". Ya, ini mungkin masalah selera seperti yang Nouramates bilang. Tapi yakin deh, Nouramates bakalan sependapat kalau Noura bilang Oki KCB itu cantik, ya tidak?

Oki emang cantik dengan riasan khasnya itu: alis tebal, pipi berona merah, garis mata dipertajam dengan celak de-el-el. Cocok dengan karakter fisiknya.
Letak kesalahannya sih.. kayaknya nih ya... karena si penata rias mendefinisikan cantiknya Oki dengan Nouramates itu sama. Cantiknya seseorang dengan yang lainnya sama meski karakter fisiknya berbeda, padahal kan absolutely tidak!
Nah, masalahnya riasan Oki yang bikin dia kelihatan cantik itu bisa jadi tidak cocok buat Nouramates yang  karakter fisiknya beda sama Oki. Misalnya, pasti bakalan aneh kalo Nouramates yang kebetulan berkulit gelap terus dipaksain terlihat putih dengan make over yang tebal sekali, setelah itu diberi rona merah pula di pipi kanan-dan kiri (apalagi kalo cuma sebelah pipi), coba... pasti bener-bener kayak pake topeng kan?. Inilah, menurut Noura yang menjadi kesalahan para perias pengantin (jiahahaha... pura-puranya ahli tata rias kenamaan :D ). Letak kesalahannya sih.. kayaknya nih ya... karena si penata rias mendefinisikan cantiknya Oki dengan Nouramates itu sama. Cantiknya seseorang dengan yang lainnya sama meski karakter fisiknya berbeda, padahal kan absoliutely tidak!

Pernah suatu ketika, Noura datang ke nikahannya seorang kenalan. Sebelum dirias pengantin, ngaku banget deh kalau doi terlihat cantik, anggun pula. Tapi setelah dirias, kok malah... malah nampak aneh begitu. Malah sempat kepikiran sudah datang ke tempat resepsi yang salah... #hadeuuuh...
"Please deh, definisikan cantikmu tanpa di dikte!".
"Cantikmu dan cantiknya dia itu beda!". Oke!

Kesempatan

0 komentar

"Kesempatan tidak datang dua kali". [Noura]

Siang ini, ada hal yang membuat Noura merenung sendiri. Kalimat demi kalimat yang meluncur begitu saja, Ia ketik lalu dikririmkan ke nomor seluler adiknya.

"Teruslah bermimpi tanpa melakukan apa pun, niscaya kau tak akan menjadi apa pun. Nikmatilah!"

Niat Noura  mungkin baik, menasihati adiknya yang dianggap sudah menyia-nyiakan sebuah kesempatan, meski dengan kata-kata yang pedas. Tapi waktu dan cara saat kata-kata itu Ia send via selulerlah yang kurang tepat, mungkin. Tapi sudahlah, Noura hanya perlu minta maaf pada sang adik (meski dengan beberapa alasan, salah satunya untuk "tarbiyah", Noura harus menangguhkannya).

Bermimpi tanpa melakukan apa pun untuk menggapainya, nonsense! Selalu membuat excuse , meminta Tuhan memberi kesempatan kedua itu tindakan kekanak-kanakan dan tak logis.

Baiklah, Noura hanya ingin mencatat kata-kata sendiri: "Bermimpi tanpa melakukan apa pun untuk menggapainya, nonsense!". Selalu membuat excuse , meminta Tuhan memberi kesempatan kedua itu tindakan kekanak-kanakan dan tak logis. Kesempatan yang sama tidak akan pernah ada, kesempatan yang sejenis mungkin saja, itu karena waktu tak pernah berulang selalu moving forward. Yang gak move on pasti falling down!


اَÙ„َّلهُÙ…َّ Ø¥ِÙ†ِّÙŠْ Ø£َعُÙˆْØ°ُ بِÙƒَ Ù…ِÙ†َ الْÙ‡َÙ…ِّ Ùˆَ الْØ­َزَÙ†ِ Ùˆَ Ø£َعُÙˆْØ°ُبِÙƒَ Ù…ِÙ†َ الْعَجْزِ Ùˆَ الْÙƒَسَÙ„ِ Ùˆَ Ø£َعُÙˆْØ°ُبِÙƒَ Ù…ِÙ†َ الْجُبْÙ†ِ ÙˆَالْبُØ®ْÙ„ِ Ùˆَ Ø£َعُÙˆْØ°ُبِÙƒَ Ù…ِÙ†ْ غَÙ„َبَØ©ِ الدَّÙŠْÙ†ِ Ùˆَ Ù‚َÙ‡ْرِ الرِّجَالِ. آمين

Duhai Pendampingku

0 komentar


“Aamiin. Jzk Mas”
(Ilust: klimg.com)
Dari: +6285725XXXXXX
Sent: 20-08-2012
(balasan SMS Lebaran)

“Jzk Khoir Mas”
Dari: +6285725XXXXXX
Sent: 15-07-2012
(balasan SMS Ulang Tahun)

“Udah Mas, gpp”
Dari: +6285725XXXXXX
Sent: 16-06-2012
(balasan SMS menawarkan bantuan)

Biasanya, seperti itulah balasan pesanmu. Tak lebih dari empat sampai lima kata, begitu singkat. Tak pernah kau selipkan smiley atau icon yang semisalnya. Tak pernah kau mengirim SMS basa-basi, sekedar menanyakan kabar atau hal-hal lainnya. Bilapun kau bertanya sesuatu via SMS pasti langsung ke hal inti.

Tak usahlah bermimpi menerima SMS guyonan, SMS puitis atau SMS gaya “Raja / Ratu Gombal”. Mending disimpan saja di brangkas dan kunci rapat-rapat. Jangan lupa, buang kuncinya ke Samudera Pasifik, biar nggak kepikiran untuk mimpi kayak gitu lagi.

Perihal ucapan selamat hari lahir, tahukah? SMS itu sudah kurancang berminggu-minggu sebelumnya. Di minggu-minggu itu bahkan aku sibuk mencari referensi. Searching dan googling kata-kata yang indah, gabung di fan-page khusus penyaji kata-kata romantis dan puitis. Yang rada-rada british atau rada-rada ng-etnis. Pokoknya yang… prikitiew gitu lah.

Lalu, apa balasanmu? Ya…begitulah, tetap tak lebih dari empat sampai lima kata. Ngirit plus-plus. Maksudnya, beberapa hurufnya corrupted. Do’a “Jazaakallaah khoiron katsiiro” misalnya, cukup kau singkat dengan Jzk, ckckck… Apa jadinya kalau terbaca Jawwaztuka coba, bagaimana?

“Itu tandanya si Teteh nggak care sama kamu A”. Kata adik perempuanku suatu ketika. Kalau ibarat main panahan, busurnya itu tepat sekali di fokus sasaran, kena banget, nusuk begitu kira-kira. Lebih lanjut, dia memberitahuku tentang sifat dan sikap perempuan yang semakin membuatku sedih saja. Perempuan tuh kalau begini tandanya ini, kalau begitu tandanya itu. Katanya panjang lebar.
“Coba lihat sms-nya singkat-singkat gituh”.
“Kalau care sedikiiiit… aja, mesti bales sms-nya nggak males-malesan kayak gitu A…”. Ampuuun… intonasi kata “sedikiiiiit…”-nya itu lho?.

“Dia kan pemalu Dek”. Sanggahku. “Dia itu… orang jawa tulen. Orang jawa yang masih tulen itu sama pemalunya kayak orang sunda”. Tambahku.
Waaaaa… Alesan A aja itu mah”.
“Eh, ngeyel”. Sanggahku lagi.
“Sri kasih tahu yah A… perempuan tuw yah, sepandai-pandainyah dia nyembunyiin rasa suka, ya… sms-nya nggak gitu-gitu amat kali… Itu mah namanya pelit…hihihi”.
“Hush… sama calon kakak ipar kok bilang kayak gitu”. Ibu yang dari tadi asyik meracik bumbu opor, melirik kami sambil senyum-senyum.

“Waaaaa…. preetttt… ingat iklan jin rokok itu nggak A?”. Kelihatannya Adikku tambah senang saja. Terlihat dari sumringah raut wajahnya. Asyik rupanya melihatku semakin galau. “Itu tuh yang ada orang jelek minta dibikin ganteng sama si Jin. Tahu ‘kan apa kata si Jin. NGIMPI! Wkwkwkwk…”. Ejeknya.

Teganya dia memorak-porandakan mimpi terindah kakaknya. Mimpi yang sudah menjadi setengah nyawa baginya. “Hmhhhh… kau memang mimpi terindahku, cinta…”. MIMPI? What? Jadi, benar semua itu cuma mimpi? Ibu… bantu anakmu membuat mimpinya nyata, tolong bujukin Tuhan untuk turut campur. Tolong sampaikan juga sama Tuhan… izinkan anakmu memperbaiki keturunan. Barangkali kalau ibunya cantik, imut, baik dan shalihah seperti dia, anak-anaknya bakalan nunut sama Ibunya. Kalau perempuan ya persis, kalo laki-laki ya jadi ganteng dan shalih gituh. Tuhan… bukankah Engkau Maha Baik dan berpihak kepada sesiapa saja hamba-Mu, apalagi yang berniat baik? Iya kan?. Please…!!!
]***[

“Hihihi…” perempuan berpipi chubby itu terkikik lepas. Semakin terlihat cute saja bagiku. Belum lagi lesung pipit yang terbentuk saat dia tersenyum, seperti pusaran angin saja. Semakin lama semakin menghanyutkan jika tak cepat-cepat menghindar.

CUP, Kukecup lesung pipit itu, aku tak mau hanyut terlalu lama.

“Sudah ah, tertawanya jangan berlebihan, nggak baik”. Kujembel pula pipi tembemnya itu.
“Kata Rasul, banyak tertawa itu membuat kita goflah, lalai sama Allah”. Meski masih sedikit terkikik, perempuan cantik di sisiku itu mulai mengurai tawanya.

“Astaghfirullaah...”. Ucapnya, dengan sisa-sisa lengkungan senyum dan pusaran angin kecil di pipinya, dia beristighfar.
“Senang ya? Merasa menang ya?”. godaku.
“Iya dong. Berarti dulu itu aku sukses membuat Mas Ihya galau hihihi…”.
Lagi-lagi, kujembel pipinya. Ah, memang setiap melihat pipinya itu, aku selalu dibuat gemas.

“Aw, seneng banget sih jembelin pipi…” pekiknya pelan. Aku hanya menyeringai.
“Emmmhhh… gitu ya? Senang ya?”. Kini tak hanya satu tanganku saja yang njembeli pipinya, dua-duanya bekerjasama, menarik pipinya ke sisi kanan dan kiri.
“Aw, sakit ah Mas…”. katanya sambil menepis kedua tanganku.

“Berarti dulu itu Mbak Laras yang imut ini pura-pura ‘alim saja tha? Bersembunyi dibalik label muslimah gitu ya?”.
“Ckckck… ternyata, sama saja dengan yang lain-lain, menggoda dengan berbagai cara. Pandai membuat lawan jenisnya galau”. Kataku dengan tekanan nada yang agak serius. Akting yang sebenarnya tak mungkin meloloskanku casting sinetron. Namun entah mengapa, di hadapannya aktingku ini betul-betul sempurna.

Sepersekian detik saja, lesung pipitnya tenggelam-muram. Raut mukanya tertekuk. Lengkung senyumnya memudar, bibir manisnya itu pun kini rapat tersusun, manyun. HEY! bukankah manyun seperti itu saja dia terlihat lucu? imut bin cute? Oh Tuhan, dulu benakku ini suka sekali melukis bibir manyunnya itu?

“Lho, bidadarinya kok jadi manyun gitu? Tambah lucu deh”. Candaku lagi. Mencoba mengembalikan lengkung senyumnya tadi. Kugelitik pinggangnya sedikit. Tapi dia tetap saja manyun. Malah tanganku sempat ditepisnya hingga mental ke kayu dipan. Bibirnya pun semakin mengatup.

“Eh!”. Aku cukup kaget juga dengan perubahan drastisnya itu.
“Mas jahat”. Setelah mendiamkanku beberapa saat, tak mempan meski beberapa kali kugoda dan kugelitiki dia, kata itulah yang akhirnya keluar.

“Laras memang bukan lulusan pesantren Mas, Laras memang nggak terlalu mendalami ilmu agama, tapi sejak cahaya itu perlahan-lahan menerangi hati Laras, Laras tak pernah ingin menjauhinya. Sungguh Mas, Laras selalu ingin berusaha menjadi muslimah yang baik, selalu berusaha tidak berma’shiyat kepada-Nya, termasuk menjaga hubungan yang tidak halal dengan Mas waktu itu”. Nada suaranya terdengar parau, mungkin terbawa rasa hatinya. Perubahan yang begitu tiba-tiba dan begitu cepat. Begitulah mungkin perempuan. Hatinya mudah sekali terbolak-balik. Kadangkala susah ditebak kemana perasaannya akan menuntun akalnya?

“Eeee… serius tha? Mas ‘kan cuma bercanda cinta…”.
“Mas jahat”. Kalimat itu lagi. Sepertinya dia memang serius menanggapi candaanku tadi. Candaan yang mungkin terasa menyudutkannya. Komentarku saat tadi kami sama-sama mengenang masa-masa dulu, saat belum menikah. Dia yang dulu tak acuh dengan perhatianku, menjauh dari segala usahaku mendekatinya. Selalu singkat saat membalas SMS, tak pernah lebih dari empat sampai lima kata. Tak pernah sekalipun mengirimi SMS guyonan, basa-basi atau menyisipkan smiley padanya.

“Laras nggak ada niat menggoda Mas dengan cara-cara seperti itu. Atau pura-pura jual mahal, atau pelit. Laras SMS pendek-pendek seperti itu juga bukan apa-apa. Laras hanya ingin menjaga hati dari perasaan yang tidak pada tempatnya”. Katanya, sambil terus mempertahankan raut manyunnya. Lucu deh lihat perempuan ngomel sambil manyun. Untung saja huruf-huruf vokal yang diucapkannya tak berubah semua menjadi huruf “U”. Tambah lucu kalau seperti itu.

“Laras takut perasaan itu tumbuh dan menjalar ke tempat yang bukan haknya. Tumbuh, subur kemudian berbuah, na’udzubillah”.
“Laras akui, sebenarnya Laras juga saat itu punya perasaan yang sama. Karena itu, Laras tak mau mengumbarnya sebelum semuanya halal seperti sekarang”.

Aku senyum saja mendengar omelan-curhatanya. Apalagi mendengar pengakuan kalau dia dahulu juga menyukaiku, dalam ketakacuhan dan penghindarannya.

“Seandainya suami Laras sekarang ini adalah Mas Ihya, dan yang dulu SMS-an, yang dulu deketi Laras itu bukanlah Mas Ihya. Apa Mas Ihya mau, mewarisi cinta sisa-sisa?Mendapatkan cinta yang sudah Laras berikan sama yang lain?”.

“Itu ‘kan seandainya. ‘Kan suaminya Mbak Laras betulan Mas-mu yang keren ini…”.
Aku menggodanya lagi.

“Iiiih… Mas ini, aku serius lho Mas”. Ngomel sambil manyun saja sudah lucu, apalagi ditambah ekspresi jengkel. Hahaha… aku malah semakin gemas melihatnya.

“Iya cinta, Mas juga faham. ‘kan sudah Mas bilang, tadi itu cuma becanda”.
Aku turun dari dipan dan berjongkok persis menghadapkan wajahku ke wajahnya. Kutangkupkan kedua tanganku ke pipi tembemnya itu.

“Lihat sini cinta, lihat mata Mas ya…”. Pintaku. Awalnya dia terlihat enggan, malah memalingkan mukanya ke samping kanan. Namun setelah kuulangi hingga ketiga kali. Dia tatapkan juga matanya itu ke arahku.

“Cinta… dengarkan baik-baik ya…”. Kujeda sebentar sambil menikmati kerlap-kerlip bolamatanya. Senang sekali melihat kedalaman matanya sedekat ini.

“Cinta… Bidadari dunia-akhiratku…”. Kuusahakan agar raut mukaku tampak serius. Tak ingin membuatnya salah paham lagi.

“Sudah jangan manyun lagi ya… sungguh Mas sampaikan ini dengan sesungguhnya… ”.
Kali ini aku harus sempurna mengatakannya, tak boleh kalah dengan akting tak sengaja tadi itu. Aku ingin momen ini kami kenang lama-lama.

“Dengar ya…” kedua tanganku masih kutangkupkan di pipi chubby-nya. Kedua mata kami pun masih saling berpandangan. Sungguh, kulihat dia menuruti kata-kataku. Dia sedang menunggu kalimat yang akan kukatakan. Perhatiannya sudah tertuju hanya padaku. Aku yakin, dia tak menyadari kalau hujan mulai merintik di luar sana.

“Dengar…”. Kataku.

“Pleeease jangan manyun terus… lihat tuh, bibirnya jadi kayak paruh bebek mechuchu …”
Sambil terkikik aku bangkit, terus berlari menghindari serangan bantal guling yang dilemparkannya. Tak kena, ia pun bangkit menjawil bantal hati. Turun dari dipan dan mengejarku.
“Mas jahat…” pekiknya.
“Mas jahat…” berulang-ulang ia pekikan kata itu, sambil terus mengejarku. Untung saja hujan sudah turun cukup ramai. Pasti tetangga tak ‘kan mendengar pekikannya itu. Andai saja terdengar, mereka bisa bertanya-tanya penasaran, atau resah atau bahkan mereka mendatangi rumah yang baru kami tinggali ini. Rumah yang baru seminggu dihuni pengantin baru.
Allaahummarzuqnii zaujatan shaalihatan. Warzuqnii dzurriyyatan shaalihatan. Amien.

dari Bumi untuk Mentari

0 komentar


Bumi sumringah -bingah menyambut pagi yang baru saja rekah. Mengulurkan telapak  tangan lalu meraup setangkup cahaya mentari. Dikecup erat-erat lalu membaringkannya dengan lembut di dekapan dada kiri.

Sungguh menyenangkan saat pagi tiba seperti ini. Saat mentari, destinasi rindunya bisa dilihat tanpa membuat letih, saat didengar tiada membawa perih.
Mentari,
         —–gelimang cahyamu bisa saja buatku galau
            —–upaya untuk memelukmu bisa jadi menghanguskanku
            —–senja yang tiap hari tiba bisa saja membuatku lemah lunglai merasa tak berdaya
tapi sudahlah, saat ini aku hanya ingin menikmati apa yang bisa kurengkuh darimu
cahaya pagimu yang hangat
penuh semangat
menebar hasrat
bisa kulihat tanpa membuat letih
saat didengar tiada membawa perih.

Pagi Jelita

0 komentar


Diam-diam mentari menyelinap,
menghangati helaian daun palm yang masih berselimut embun,
tanpa suara, ia hampiri kembang mayang kemudian digodanya, memaksa sang kembang lekas-lekas membukakan kelopaknya
diam-diam dari pucuk palm yang menjulang itu ia mengintai,
mata jelita perempuan muda di taman kota, di bangku panjang tempat biasa orang menikmati terang
atau menyawang cemerlang senja menyambut syahdu malam yang akan segera tiba
selamat pagi jelita
pagi yang jelita

#Tempat tumbuh pohon palm, Januari 15 2012

Dik, Aku Jatuh Cinta Karena Kerudungmu

0 komentar


“Mas… ?” Ia menatap ke kedalaman mataku.
“Dulu, saat kita saling menjauh… “. Ia masih menatapku lekat-lekat. Kulengkungkan sedikit senyum, menenangkan binar-binar matanya yang penuh dengan tanya.
“Pernahkah Mas membenciku?” katanya.
“Dik, Aku tak pernah, dan tak akan bisa membencimu, sampai kapan pun. Insya Allah”.
Aku bukanlah lelaki yang pandai menggombal di depannya, sejak dulu. Akulah lelaki terkaku jika berpapasan dengannya. Akulah yang akan selalu mencoba tak acuh saat melihatnya. Memalingkan muka pura-pura tak tahu. Namun, jika takdir berkata lain, kami harus bertemu pandang misalnya, ujung-ujungnya pun tak akan ada yang istimewa, hanya saling panggil nama.
“Bee…”. sapaku, lalu dia akan membalasnya dengan memanggil namaku juga, “Mas Ihya…”. Hanya seperti itu.

“Benarkah Mas?” Ia geser duduknya, setengah menghadapku. Sambil digenggamnya tanganku, Ia pastikan lagi kalimat yang tadi didengarnya.

“Mas tak membenciku, meski dahulu aku menjauh? Memutuskan komunikasi saat Mas berusaha mendekatiku?”
“Mas tak pernah benci dengan sikapku itu?”
Lagi, Ia tatapkan tanya ke kedalaman mataku. Ingin menjumpai jawaban bahwa aku tak pernah membencinya sedikitpun. Tak pernah merasa disakitinya, meski dahulu dia menjauhiku, tak mengacuhkan setiap perhatian yang kuberikan kepadanya.
——-]©[-------

Sebenarnya mata ini sudah sangat kelelahan, pedih rasanya. Seharian mengelilingi teriknya Jogja, mendistribusikan puluhan undangan ke panti-panti dhu’afa. Tapi waktunya toh tinggal sebentar lagi, 20 menit lagi. Aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan kalimat itu untuknya…
“Selamat Ulang Tahun Bee… Semoga kasih sayang-Nya selalu terlimpah untukmu”.
“Selamat Ulang Tahun Bee… Wish You All The Best”.
Aku tak ingin mengucapkannya terlalu berlebihan. Apalagi terlalu lebay. Cukup kutulis seperti itu saja di dinding fesbukmu.

Ternyata, meski pedih kuintai monitor terus-menerus, aku bukanlah yang pertama mengucapkannya. Terlambat. Lewat 3 menit dari pukul 00.00. dan sudah ada seorang lelaki yang menuliskan ucapan selamat hari lahir itu di dinding fesbukmu.

Siang harinya, aku tak sabar membuka fesbuk, berharap kubaca balasan ucapan selamatku. Tak ada. Ya… hanya ucapan selamatku yang tidak kau balas.

“Terima kasih”. Lirihku dalam hati.
***

Aneh, kenapa yang angkat-angkat kursi malah anak banat*? Mana panitia laki-lakinya? Dia dan 2 orang temannya membereskan sekira 100 kursi? Memindah dan merapihkannya? GILA, pikirku.

Akhirnya kuputuskan untuk mendekatinya, jika diizinkan aku akan menyuruhnya beristirahat, biar aku saja yang merapihkan venue untuk konser amal itu.
Kok hanya teman-teman banat* yang angkat-angkat Dik? Pada ke mana yang laki-laki?”
“Oh, belum tahu ini Mas. Belum pada datang kayaknya”. Jawabnya.
Dah biar Mas saja yang angkat-angkat, kalian istirahat saja”. Bujukku.
“Nggak usah Mas, nggak usah repot-repot. Kami bisa kok bertiga”.

Tanpa meneruskan pembicaraan, dia bergegas ke arah dua temannya, mengangkat dan memindahkan kursi-kursi lagi. Tak lama, beberapa panitia yang laki-laki datang. Meminta maaf dan langsung turut membantu. Aku juga tetap membantu angkat-angkat dan merapikan kursi-kursi untuk audiens itu. Jika yang lain sesekali menyapa dan mengajakku berkomunikasi. Baik yang laki-laki ataupun dua teman perempuanya itu, Dia, setelah memintaku untuk tidak repot-repot membantu, tak sekalipun mengajaku berbicara.
***
Ini adalah hari yang kutunggu-tunggu, terlebih bagi kedua orangtuaku. Hari ini aku akan resmi menjadi sarjana. Menggunakan toga, Aku terlihat gagah juga rupanya. Hush.. Jangan harap ada selendang “Cumlaude” pada togaku, itu bercanda namanya. IPK-ku memang di atas 3,5 tapi sayang umur studiku sudah menjelang kadaluwarsa.

Tak apa, aku tetap bahagia kok, apalagi orangtuaku. Kebahagiaan ini tentu akan sangat lengkap jika seseorang yang istimewa ikut hadir. Dia, seseorang yang meski selalu tak acuh denganku, aku bahkan lebih acuh dengannya daripada dengan umur studiku yang tak jadi kadaluwarsa itu.

“Selamat sob…” Hary menjabat erat tanganku, lalu memelukku. Menyusul Reza, Ahmad, Robi dan teman-teman angkatanku yang saat itu juga menggunakan toga. Ya, mereka diwisuda bersamaan denganku , hanya beda sedikit, atau malah beda banyak, aku wisuda strata 1 sedang mereka diwisuda atas kesuksesan menyelesaikan program master.

“Selamat ya Kak…” ternyata anak-anak banat* remaja masjid juga datang menyelamatiku. Tak ketinggalan junior-junior banat* di pergerakan mahasiswa juga datang. Lalu, datangkah dia? Seseorang yang istimewa itu?

Hingga acara syukuran kecil-kecilan di Rumah Makan dekat kampus, dia tak terlihat ada. Bahkan teman dekatnya, yang kutitipi undangan untuknya terlihat canggung denganku. Mungkin karena dia tak hadir, menjawab undangan wisudaku.
“Terimakasih… tak apa”. gumamku.
-------]©[-------

“Mas tak pernah benci? Bahkan saat segala tentang Mas kuhapus? Kuputuskan segala akses komunikasi antara aku dan Mas saat itu?” binar matanya sekali lagi menghujam ke kedalaman mataku.
“Dik…”. Kubalas genggaman erat tangannya. Lagi, kulengkungkan senyum, tak ingin bidadari di sampingku ini lama merasai salah.
"Mas tidak pernah sedikitpun benci".
“Adik tahu, dulu, Mas mendekatimu tidak karena apa-apa. Tidak karena kau cantik, tidak karena kau kaya, tidak juga karena kau dari keluarga terpandang…”
“Mas waktu itu hanya jatuh cinta dengan kerudungmu. Kau tutupi apa yang hanya hak mahram-mu untuk melihatnya. Kau perisai-i segala kecantikanmu dengan kerudungmu itu”.
“Dengan kerudungmu, kau tutupi auratmu, hal yang akan selalu indah dimata lelaki. Dengan kerudungmu kau jaga pandanganmu. Dengan kerudungmu kau jaga sikap-sikap tak pantas bagi seorang muslimah”.
“Dan, karena kerudungmu itu… Mas yakin, kerudungmu itulah alasan kau memutuskan segala komunikasi dengan Mas. Kau yang sudah tahu tentang perasaan Mas kepadamu, perasaan yang tak boleh kau sambut karena tidak sejalan dengan kerudung yang kau pakai. Hubungan yang mungkin akan terjalin yang bisa menyalahi aturan kerudung cantikmu itu. Jadi kenapa Mas harus benci jika karena kerudungmu itu Adik tak acuh dengan Mas? Adik putuskan segala akses komunikasi dengan Mas? Kenapa Mas harus benci? Bukankah Mas jatuh cinta juga karena kerudungmu?”.
“Dan, tahukah Dik. Saat ini Mas menjadi yang paling bahagia di dunia. Satu-satunya orang yang bisa mensyukuri anugerah Tuhan yang ada di balik kerudungmu”.
“Terimakasih telah menjaganya”.
“Mas mencintaimu karena Allah”.
](c)[

*banat, bentuk plural dari kata “bintun” (arab): perempuan.

Hamidea, Istriku...

0 komentar


(Ilust: linglinglia.com)
Dikayuhnya sepeda buatan China itu setiap hari. Hilir mudik menempuh jalan sepanjang Pringgokusuman, jalan Abu Bakar Ali, jalan sekitar Masjid Syuhada menuju Bundaran UGM, belok kanan ke arah Masjid Kampus dan berakhir di Fakultas Ilmu Budaya. Selain ngampus, hari-harinya lebih banyak ia habiskan di masjid peringatan itu, Masjid Syuhada. Sedang di asrama puteri hanya sekedar untuk melepas lelah, memberikan hak pada tubuhnya untuk beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk esok hari, berjibaku kembali menabung bekal akhirat.

“Sejak kecil aku selalu dicekoki Ibu sama Bapak, mereka selalu bilang akhirat haruslah menjadi tujuan utama. Kumpulkan sebanyak-banyaknya bekal terbaik untuk kehidupan di akhirat kelak. Ahhh… Ibu sama Bapak memang paling top deh urusan mendidik anak-anaknya. Kalau saja sejak kecil aku nggak didoktrin dengan yang seperti itu, pasti aku nggak bakalan kayak sekarang. Ya nggak Mas?”. Katamu suatu ketika.

Menantang panas dan hujan dengan perut kadang terisi kadang kosong juga menjadi rutinitasmu. Sudah sejak dulu kau mendawamkan Puasa Daud, puasa selang hari. Hari ini puasa esoknya tidak, lusa berpuasa lagi esoknya berbuka, tidak puasa.

“Aku tuh sebenarnya cemburu saja sama Nabi Daud, beliau kan laki-laki, masak sih suaranya semerdu itu? konon, suaranya itu tak kalah elok dengan paras Nabi Yusuf, hingga alam sekitar yang mendengar senandungnya pasti terpana, bahkan ikut bersenandung bersamanya. Kok bisa itu lho? Jangan-jangan karena tirakatnya yang sangat dahsyat itu, berpuasa selang sehari?” tuturmu menceritakan alasan kenapa mendawamkan sunah Nabi Daud. Ingin agar setiap ayat yang kau lantunkan menyentuh hati yang mendengarkannya, tidak sekedar merdu.Ya, lantunan ayat-ayatmu memang sudah merdu, tak salah jika juri MTQ Provinsi memilihmu sebagai juara pertama. Tapi, prestasi itu saja belum cukup bagimu. Kau ngin seperti Nabi?

Selain dengan berpuasa, riyadah yang pasti kau dawamkan adalah membaca surat-surat cinta-Nya. Lembaran-lembaran surat cinta yang setiap hari kau bawa, biasanya kau simpan di saku gamismu. Kebiasaan yang juga sejak dulu kau lakukan.

“Kalau saja aku masuk Pesantren Tahfiidzhul-Quraan sejak kecil Mas, mungkin aku bisa seperti Imam Syafi’i, hafal seluruh Al-Quran sejak masih umur tujuh tahun. Paling tidak umur 12 tahun lah, saat aku meneruskan ke jenjang sekolah menengah aku sudah hafal seratus empat belas surat cinta-Nya. Sekarang? Hanya 1 juz dan beberapa surat-surat pilihan saja yang kuhafal”. Keluhmu.

Namun, seingatku ada satu surat yang selalu kau memintaku mendengarkannya, menyimak hafalanmu. Barangkali ada ayat yang terlewat atau salah hukum bacaannya. Surat itulah surat cinta ke -47 dari bundelan surat-surat cinta-Nya, surat Muhammad. 

Kau tidak hanya hafal surat itu sepertinya, tapi juga bisa menghayati ayat demi ayatnya. Pernah kusaksikan ekspresi wajahmu saat kau sampai pada lantunan ayat ke -15. Awalnya aku hanya aneh dengan nada lagu yang kau lantunkan, mengapa tiba-tiba berubah? begitu ceria, sumringah? Seperti orang yang baru saja mendengar berita sukacita. Kenapa gerangan?

“Gimana aku nggak sumringah coba Mas, di ayat itu tuh Allah melukiskan dengan indah bagaimana hadiah syurga itu. Ah, kalau saja amal kebaikanku sudah cukup untuk ditukar dengan hadiah itu, tak apalah aku disegerakan untuk dipanggil menghadap-Nya”. Katamu tanpa beban.

“Oh ya, aku juga selalu ngusahain surat cinta ke -47 ini selalu kubaca setiap shalat, biar nggak sampai terlupa. Aku kan nggak mungkin tuh kalo jadi imam shalat Mas, jadi aku baca saja setiap shalat sunah. Biar apa juga coba?”.

Aku termenung, memikirkan jawaban dari pertanyaanmu itu. Pikirku mungkin kamu takut dosa. Kalau tidak salah, aku pernah mendengar sebuah hadist yang menerangkan bahwa orang yang melupakan hafalan ayat-ayat-Nya bisa jadi berdosa. Ah, pasti karena itu. Belum sempat kusampaikan apa yang menjadi perkiraanku itu, kau sudah menjawabnya lebih dulu.

“Biarrr… emmh… Kebayang nggak sih Mas, besok saat kita semua membutuhkan syafa’at Rasulullah dan kita diberi kesempatan bertemu dengannya, terus giliranku untuk bercakap-cakap dengannya tiba, lalu beliau menyapa: ‘Sahabatku, kekasihku, menurutmu pantaskah aku memberikan syafa’at untukmu? Apa yang kau punya hingga bisa kau tukar dengan syafa’at dariku?”. Beliau tersenyum teduh sekali, meneduhkan padang mahsyar yang terik menyengat. Aku bingung amalan apa yang bisa kutukar, ibadah wajib saja sering bolong-bolong apalagi sunnahnya. Namun ternyata atas izin Tuhan, dengan mantap kubacakan sebuah surat yang diberi nama sesuai dengan namanya, surat ke -47 itu.
Lalu dengan senyum terindah diantara semua makhluk, beliau, lagi-lagi dengan penuh kelembutan berkata: ”Sahabatku, kekasihku, ingatkah aku pernah bilang dalam salah satu hadistku: ‘Sesungguhnya Al-Quran akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at-penolong bagi sahabatnya (yang membaca dan mengamalkan setiap tuntunannya)’. Menurut Rasul-Nya, engkau telah menjadikan Al-Quran sebagai sahabatmu, teman yang kau minta sarannya ke mana engkau harus melangkah dalam hidupmu. Berbahagialah engkau sekarang karena Tuhan memperkenankan syafa’atku untukmu”.

Lalu timbangan kebaikanku dilebihkan beratnya dari amal burukku sehingga aku layak untuk masuk ke dalam surga-Nya. “Seneng banget kan kalau kayak gitu Mas?”. Terlihat raut keyakinan di wajahmu, aku tak tahu mengapa sampai seperti itu. Aku, yang katanya lulusan pesantren belum bisa seyakin dirimu. Ah, Hamidea kau memang kejora. Biarpun purnama tengah menyala, cahayamu tetap saja nyatra.
](c)[

Hamidea… lihatlah buah hatimu ini, anak kita. Sudah tujuh tahun usianya, tujuh tahun sejak kau tinggal syahid. Ya, syahid. Aku ikhlas Hamidea, ikhlas saat kau memilih syahid. Aku yakin itu mimpimu jua. Masih ingat saat kau bilang kalau amal kebaikanmu sudah cukup, kau rela disegerakan untuk dipanggil menghadap-Nya? bagaimana Allah tak mencukupkan pahalamu untuk ditukar dengan syurga-Nya, kau syahid isteriku, kau tukar nyawamu untuk melahirkan generasi shalih seperti anak kita, Muhammad. Insya Allah.

Sengaja kuberi ia nama Muhammad sebagai prasastiku untukmu. Muhammad dan Hamidea satu akar kata. Tentu saja dia juga sudah hafal surat cinta kesayanganmu, surat ke -47 itu.

Mimpi-mimpi kecilmu juga perlahan mulai kupahatkan pada dirinya. Memang tak sampai seperti Imam Syafi’i, di usianya yang ketujuh sekarang ini ia baru hafal 10 juz saja. Esok lusa, sebagai mimpimu, aku yakin saat dia beranjak remaja, saat ia mulai masuk sekolah menengah, dia pasti sudah hafal seluruh surat-surat cinta-Nya itu. Semuanya, seratus empatbelas surat cinta.

Hamidea, sekali-kali mohonlah izin kepada-Nya untuk mengunjungiku. Barangkali Dia berkenan. Sungguh aku rindu mendengar senandung cintamu. Senandung syahdu ayat-ayat-Nya dari mulutmu.
Hamidea, semoga cinta kita mengumpulkan kita kembali di akhirat nanti. Aku dan Muhammad, anak kita, akan berusaha mengumpulkan bekal pahala sebanyak-banyaknya. Tiada lain agar kita bisa benar-benar dikumpulkan Allah di syurga-Nya, nanti. Menyusulmu yang sudah lebih dulu mencium wanginya.

Hamidea, aku mencintaimu karena Dia.