Muqoddimah

0 komentar


Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillaah, malam tadi itu (15/1) sungguh menyenangkan, berkumpul dengan ‘aalim yang cerdik-pandai, melingkar dalam satu majlis, menyampaikan ilmu dan menerima ilmu. Yang luar biasa bahwa di majlis ini santri-santrinya itu seorang mu’allim, bahkan ada seorang muballigh senior. Duduk bersama dengan orang-orang besar tentu sangat luar biasa bagi ane. Inilah majlis yang sudah lama ane rindukan. Bisa ngaji kembali, jadi santri lagi, mendapatkan ilmu dan saling nasehat-menasehati.

Buku yang kami kaji tiap Selasa malam ini berjudul “Al-Jadaawil Al-Jaami’ah fii Al-‘Uluum An-Naafi’ah”. Pertamakalinya sangat asing terdengar di telinga, ma'lum sudah lama tak bergaul dengan buku-buku berbahasa Arab. Tapi, mendengar sinopsis tentang buku ini dari Ustadz Anton, ane langsung semangat 45 untuk ikut ngaji. Apalagi kajian ini diampu oleh ‘aalim lulusan Universitas Ummul Quro, Madinah, Ustadz Ridwan Hamidi.

Buat, Nouramates semuah… insyaa Allooh bisa mantengin hasil kajiannya. Akan  coba ane sajikan dengan bahasa yang seenak mungkin dikunyah nalar, bahkan oleh yang biasa baca buku-buku “ringan”. Meski, sepertinya butuh perjuangan khusus agar bisa demikian. Pasalnya—buku yang dikaji adalah buku yang merangkum beberapa ilmu sebagai berikut:

  • Al-Fiqh;
  • Ushuul Al-Fiqh;
  • Al-Qowaa’id Al-Fiqhiyyah;
  • Al-‘Aqiidah;
  • Al-Milal wa An-Nihal;
  • ‘Uluum Al-Quraan;
  • ‘Ilm At-Tajwiid;
  • Manaahij At-Tafsiir;
  • ‘Ilm Mushtholah Al-Hadiits;
  • ‘Ilm At-Takhriij wa At-Ta’arruf ‘alaa Kutub Al-Hadits;
  • ‘Ilm An-Nahwi.


Do’akan saja semoga ane bisa istiqomah mengikuti kajian ini, diberi kemudahan dalam memahaminya, diberikan kesehatan dan dihindarkan dari sifat malas agar bisa membagikannya pada Nouramates semuah…

Ustadz Ridwan dalam muqoddimah menyampaikan: “Siapa saja yang mengkaji buku ini, harapannya bisa mempelajari Islam secara SHAHIH dan SYAAMIL”. Ya, menurut beliau kedua syarat ini sangat penting. Mengapa? Dengan mempelajari Islam secara shahih, benar dan otentis pasti buah pikiran keIslamannya pun akan shahih. Begitu juga, belajar Islam itu harus syaamil, menyeluruh, komprehensif hingga tidak akan serampangan dalam beristinbath, membuat produk hukum syar’i.

Nah, bagi Nouramates yang ingin mantengin kajian ini bisa langganan rubrik “Nyantri” di lapak ini. Insyaa Allooh di update per-pekan. Semoga bermanfa’at. Amien.  

Pemuda Masjid Zaman Ini*

0 komentar

Progresif itu pemuda, pemuda itu harus progresifKalimat inilah yang saya pilih untuk menunjukan siapa pemuda itu? Aktif, bergerak dan menggerakan, menjadi pionir untuk merubah stagnasi atau menjadi minyak pelumas bagi mesin yang sudah aus dimakan usia begitulah seharusnya pemuda. 

Progresifitas seorang pemuda hanya akan timbul jika si pemuda tersebut memiliki daya respon yang tinggi dengan kondisi sekitarnya. Daya respon yang dimaksud tentu adalah respon terhadap isu-isu aktual dan problematika yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negaranya. Seorang pemuda tidak layak abai dengan problematika masyarakat-bangsanya karena di masa depan merekalah yang akan memikul tanggungjawab, melanjutkan dan menentukan ke mana bangsanya akan melangkah.

Adapun masjid dalam tradisi muslim selalu merupakan pusat peradaban atau paling tidak selalu menjadi titik tolak dan sumber kembali dalam hidup dan kehidupan. Yang demikian itu dicontohkan oleh Rasulullah dan disimbolkan dalam peristiwa Hijrahnya bersama umat Islam ke Madinah. Salah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid. Ini bukti, contoh dari Rasulullah untuk ummatnya bahwa dalam membangun masyarakat-bangsa masjid punya peran signifikan. 

Mengapa masjid? Secara etimologi masjid adalah tempat bersujud, tempat dimana seseorang merendahkan dan menghambakan diri di hadapan penciptanya Yang Segala Maha. Ini adalah simbol bahwa dalam menjalani kehidupan, satu hal yang harus selalu diingat oleh Ummat adalah bahwa ada Yang Maha Segala di semesta ini. Mengawali sesuatu menjadi optimis karena percaya ada Yang Segala Maha dipihak kita, begitu juga saat ada permasalahan akan kebih tenang dalam menghadapinya karena yakin tidak akan ada yang tidak bisa untuk Sang Segala Maha.

Berdasarkan hal tersebut dalam kesempatan ini, saya sampaikan beberapa gagasan bagaimana idealnya seorang pemuda masjid (muslim) dalam berkontribusi terhadap ummat, bangsa dan negaranya:

1). Memantapkan jadi dirinya sebagai muslim; ini menjadi starting point. Muslim saat ini selalu bersifat inferior, segala hal dari barat (Eropa/Amerika) selalu dianggap lebih baik. Para sarjana gemar mengutip karya-karya barat dan terkesan malu jika harus mengutip karya-karya peninggalan cendekiawan muslim. Tetapi ini juga tidak berarti kita anti-barat, sebagaimana budayawan Emha Ainun Najib[1], mestinya dalam ber-ummat ini: "Jowone digowo, Arab digarap, Barat diruwat". Ya, kita akui modernitas saat ini dinahkodai barat karenanya kita tidak boleh anti jika tidak ingin ditinggalkan zaman. Tetapi ada hal yang harus kita ruwat dari modernitas ala barat itu. Alat untuk meruwatnya tidak lain adalah kejawaan (keindonesiaan) dan kearaban (keislaman) kita;

2). Dalam bangsa yang majemuk seperti NKRI ini, pemuda masjid ada baiknya mengembangkan gagasan (Alm.) K.H. Irfan Hielmy[2] yaitu menjadi Muslim Moderat, Mukmin Demokrat dan Muhsin Diplomat. Bila setiap pemuda masjid mengembangkan sikap ini, maka akan terbentuklah kesatuan pemuda progresif yang cakap bernegara;

3). Pemuda Masjid menjadi role-model/trend-setter bukan malah membebek budaya populer. Ingat, "Almuslimu yuatstsir wa laa yataatstsar" bukan tipikal muslim menjadi pengekor, muslim itu beridentitas dan berjiwa teladan;

4). Dan, sebagai langkah konkret, saya mengusulkan agar dibentuk jaringan pemuda masjid. Jaringan ini yang akan mengawal kegiatan masjid menjadi lebih progresif, satu visi (tentu dengan kelebihan masing-masing) sehingga lebih kontributif terhadap ummat, bangsa dan negara. 



*Disampaikan dalam Sarasehan Pemuda Masjid se- Daerah Istimewa Yogyakarta di Laboratorium Agama Universuitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 23 Desember 2012.

[1] Disampaikan dalam Sarasehan Santri CSS MORA Universitas Gadjah Mada; “Kontribusi Santri untuk NKRI”, 15 Desember 2012.
[2] Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat.