Surat Terakhir untuk Nay


Dear,
(Ilust: artikelmuslimah.files.wordpress.com)
Entah apa maksudku menuliskan surat ini untukmu. Yang pasti, beberapa hari yang lalu ikatan itu telah kalian tautkan. Jalinan itu telah kalian resmikan, kalian telah menikah. Itulah kenyataannya.
Maaf, mungkin itulah kata pertama yang harus kusampaikan kepadamu. Maaf jika di hari pernikahanmu aku tidak hadir. Bahkan untuk sekedar mengucapkan do’a “Baarakallaahu lakumaa wa baaraka ‘alaikumaa wa jama’a bainakumaa fii khaiir” belum kusampaikan. Kado pernikahanpun urung kutitipkan.

Bukanlah itu karena sikap aroganku Nay, sungguh, tapi aku terlampau malu. Malu jika harus menampakkan diri di hadapanmu. Malu karena pernah kusakiti hatimu. Pernah kuteteskan air matamu. Meski tak pernah secara langsung kulihat kau menitikan air mata itu.

Melalui surat ini, kusampaikan bahwa aku turut berbahagia mendengar kabar pernikahanmu. Dan aku tak menyangkal jika perihal pernikahanmu ini mengingatkanku pada cerita kita dulu. Saat kau dan aku saling mengutarakan kapan dan pada umur berapa kira-kira kita akan menikah? Kita memilih di umur ke-23. Hahaha…, kalau mengingat itu lucu rasanya. Malu juga sih, kamu bisa mewujudkan niatan itu sedangkan aku tidak. Padahal sebagai laki-laki sewajarnya aku yang lebih mampu mewujudkan niatan itu lebih dulu daripada kamu. Boro-boro nikahin anak orang, untuk menghidupi diri sendiri saja aku masih berjibaku Nay (tak apa kan kupanggil seperti dulu “Nay”?).

Aku baru tahu dari seorang teman ternyata suamimu adalah putera dari salah satu guru SMA-ku, guru SMA-kita, iya kan Nay? Hmhh…pantesan aja pas silaturrahim bulan Mei kemarin beliau begitu kaku menyapaku. Padahal biasanya beliau begitu hangat, sering bercanda denganku malah. Dulu beliau juga kan yang suka goda-godain kita? Hmhh.. Kini dia jadi Ibumu Nay. Baik-baik lah dengan beliau, tentu kamu juga bisa menjadikan beliau sebagai tempat curhatmu, seperti kau biasa curhat dengan ibumu tentang kita, dulu …

Malah ngelantur ke mana-mana.  .. hmhhh… gimana nyampaiinnya ya.. mudah-mudahan yang akan kusampaikan ini tak membuatmu menitikan air mata lagi. Sungguh, ini kusampaikan karena aku merasa harus menyampaikannya. Daripada aku selalu merasa bersalah kepadamu.
Nay, setelah merenung sekian lama aku baru tersadarkan, mengapa aku sempat membuatmu menangis di akhir-akhir hubungan kita. Entah benar atau tidak tapi nuraniku mengatakan semua itu karena salahku. Ya, salahku.

Kamu masih ingat aku sering mengulang-ngulang kalimat apa Nay? Harusnya kamu masih ingat. “Gimana ya wajahmu saat menangis? Pasti cantik sekali. Pokoknya saat kamu menangis aku ingin melihatnya. AKU INGIN MELIHATMU MENANGIS!”

Entah apa yang kupikirkan dan mengapa aku sering mengucapkan kalimat-kalimat itu. Saat ngobrol berdua denganmu, saat di telepon, saat jalan berdua dan kapanpun saat terhayal cantiknya wajahmu ketika menangis.

Tak terpikirkan olehku jika kalimat-kalimat itu bisa menjadi do’a. Ya, aku menyimpulkan bahwa tangis kesedihanmu di akhir kisah kita adalah karena ucapan yang sering kuulang-ulang itu, ucapan yang menjadi do’a.

Yang lebih tak terpikirkan lagi dengan ucapan itu adalah bahwa sangat jarang suatu tangisan itu adalah tangisan bahagia. Tangisan selalu identik dengan kesedihan. Benar kan Nay? Dan, artinya selama kita terikat cinta itu, aku justeru selalu mendo’akanmu menjumpai kesedihan dengan mengucapkan kalimat-kalimat itu. Kejam sekali aku ini…sungguh kejam.
Hal inilah yang memaksaku memberanikan diri menyampaikan surat ini kepadamu. Meski kecil kemungkinan aku akan mengetahui tanggapanmu, paling tidak bebanku sedikit berkurang karena aku telah sampaikan pengakuan ini.

Terakhir, sekali lagi aku sampaikan permohonan maaf atas segalanya, termasuk atas ucapan/do’a tak pantas itu. Dan aku berharap apa yang kusampaikan ini dapat kau maklumi.
Aku juga berdo’a semoga dalam membina bahtera cinta bersama suamimu kini, tak ada ucapan-ucapan yang tidak pantas untuk diucapkan. Tak ada kalimat-kalimat aneh yang bisa menjadi do’a yang tidak baik untuk kalian berdua. Selamat berbagi cinta Nay. Semoga bahagia. Salam untuk suami dan keluargamu.

Sahabatmu.

NB: ini tulisan pernah diikutkan dalam lomba dan nggak tahu kabar-beritanya, hehe…

0 komentar:

Posting Komentar