Hamidea, Istriku...


(Ilust: linglinglia.com)
Dikayuhnya sepeda buatan China itu setiap hari. Hilir mudik menempuh jalan sepanjang Pringgokusuman, jalan Abu Bakar Ali, jalan sekitar Masjid Syuhada menuju Bundaran UGM, belok kanan ke arah Masjid Kampus dan berakhir di Fakultas Ilmu Budaya. Selain ngampus, hari-harinya lebih banyak ia habiskan di masjid peringatan itu, Masjid Syuhada. Sedang di asrama puteri hanya sekedar untuk melepas lelah, memberikan hak pada tubuhnya untuk beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk esok hari, berjibaku kembali menabung bekal akhirat.

“Sejak kecil aku selalu dicekoki Ibu sama Bapak, mereka selalu bilang akhirat haruslah menjadi tujuan utama. Kumpulkan sebanyak-banyaknya bekal terbaik untuk kehidupan di akhirat kelak. Ahhh… Ibu sama Bapak memang paling top deh urusan mendidik anak-anaknya. Kalau saja sejak kecil aku nggak didoktrin dengan yang seperti itu, pasti aku nggak bakalan kayak sekarang. Ya nggak Mas?”. Katamu suatu ketika.

Menantang panas dan hujan dengan perut kadang terisi kadang kosong juga menjadi rutinitasmu. Sudah sejak dulu kau mendawamkan Puasa Daud, puasa selang hari. Hari ini puasa esoknya tidak, lusa berpuasa lagi esoknya berbuka, tidak puasa.

“Aku tuh sebenarnya cemburu saja sama Nabi Daud, beliau kan laki-laki, masak sih suaranya semerdu itu? konon, suaranya itu tak kalah elok dengan paras Nabi Yusuf, hingga alam sekitar yang mendengar senandungnya pasti terpana, bahkan ikut bersenandung bersamanya. Kok bisa itu lho? Jangan-jangan karena tirakatnya yang sangat dahsyat itu, berpuasa selang sehari?” tuturmu menceritakan alasan kenapa mendawamkan sunah Nabi Daud. Ingin agar setiap ayat yang kau lantunkan menyentuh hati yang mendengarkannya, tidak sekedar merdu.Ya, lantunan ayat-ayatmu memang sudah merdu, tak salah jika juri MTQ Provinsi memilihmu sebagai juara pertama. Tapi, prestasi itu saja belum cukup bagimu. Kau ngin seperti Nabi?

Selain dengan berpuasa, riyadah yang pasti kau dawamkan adalah membaca surat-surat cinta-Nya. Lembaran-lembaran surat cinta yang setiap hari kau bawa, biasanya kau simpan di saku gamismu. Kebiasaan yang juga sejak dulu kau lakukan.

“Kalau saja aku masuk Pesantren Tahfiidzhul-Quraan sejak kecil Mas, mungkin aku bisa seperti Imam Syafi’i, hafal seluruh Al-Quran sejak masih umur tujuh tahun. Paling tidak umur 12 tahun lah, saat aku meneruskan ke jenjang sekolah menengah aku sudah hafal seratus empat belas surat cinta-Nya. Sekarang? Hanya 1 juz dan beberapa surat-surat pilihan saja yang kuhafal”. Keluhmu.

Namun, seingatku ada satu surat yang selalu kau memintaku mendengarkannya, menyimak hafalanmu. Barangkali ada ayat yang terlewat atau salah hukum bacaannya. Surat itulah surat cinta ke -47 dari bundelan surat-surat cinta-Nya, surat Muhammad. 

Kau tidak hanya hafal surat itu sepertinya, tapi juga bisa menghayati ayat demi ayatnya. Pernah kusaksikan ekspresi wajahmu saat kau sampai pada lantunan ayat ke -15. Awalnya aku hanya aneh dengan nada lagu yang kau lantunkan, mengapa tiba-tiba berubah? begitu ceria, sumringah? Seperti orang yang baru saja mendengar berita sukacita. Kenapa gerangan?

“Gimana aku nggak sumringah coba Mas, di ayat itu tuh Allah melukiskan dengan indah bagaimana hadiah syurga itu. Ah, kalau saja amal kebaikanku sudah cukup untuk ditukar dengan hadiah itu, tak apalah aku disegerakan untuk dipanggil menghadap-Nya”. Katamu tanpa beban.

“Oh ya, aku juga selalu ngusahain surat cinta ke -47 ini selalu kubaca setiap shalat, biar nggak sampai terlupa. Aku kan nggak mungkin tuh kalo jadi imam shalat Mas, jadi aku baca saja setiap shalat sunah. Biar apa juga coba?”.

Aku termenung, memikirkan jawaban dari pertanyaanmu itu. Pikirku mungkin kamu takut dosa. Kalau tidak salah, aku pernah mendengar sebuah hadist yang menerangkan bahwa orang yang melupakan hafalan ayat-ayat-Nya bisa jadi berdosa. Ah, pasti karena itu. Belum sempat kusampaikan apa yang menjadi perkiraanku itu, kau sudah menjawabnya lebih dulu.

“Biarrr… emmh… Kebayang nggak sih Mas, besok saat kita semua membutuhkan syafa’at Rasulullah dan kita diberi kesempatan bertemu dengannya, terus giliranku untuk bercakap-cakap dengannya tiba, lalu beliau menyapa: ‘Sahabatku, kekasihku, menurutmu pantaskah aku memberikan syafa’at untukmu? Apa yang kau punya hingga bisa kau tukar dengan syafa’at dariku?”. Beliau tersenyum teduh sekali, meneduhkan padang mahsyar yang terik menyengat. Aku bingung amalan apa yang bisa kutukar, ibadah wajib saja sering bolong-bolong apalagi sunnahnya. Namun ternyata atas izin Tuhan, dengan mantap kubacakan sebuah surat yang diberi nama sesuai dengan namanya, surat ke -47 itu.
Lalu dengan senyum terindah diantara semua makhluk, beliau, lagi-lagi dengan penuh kelembutan berkata: ”Sahabatku, kekasihku, ingatkah aku pernah bilang dalam salah satu hadistku: ‘Sesungguhnya Al-Quran akan datang pada hari kiamat sebagai syafa’at-penolong bagi sahabatnya (yang membaca dan mengamalkan setiap tuntunannya)’. Menurut Rasul-Nya, engkau telah menjadikan Al-Quran sebagai sahabatmu, teman yang kau minta sarannya ke mana engkau harus melangkah dalam hidupmu. Berbahagialah engkau sekarang karena Tuhan memperkenankan syafa’atku untukmu”.

Lalu timbangan kebaikanku dilebihkan beratnya dari amal burukku sehingga aku layak untuk masuk ke dalam surga-Nya. “Seneng banget kan kalau kayak gitu Mas?”. Terlihat raut keyakinan di wajahmu, aku tak tahu mengapa sampai seperti itu. Aku, yang katanya lulusan pesantren belum bisa seyakin dirimu. Ah, Hamidea kau memang kejora. Biarpun purnama tengah menyala, cahayamu tetap saja nyatra.
](c)[

Hamidea… lihatlah buah hatimu ini, anak kita. Sudah tujuh tahun usianya, tujuh tahun sejak kau tinggal syahid. Ya, syahid. Aku ikhlas Hamidea, ikhlas saat kau memilih syahid. Aku yakin itu mimpimu jua. Masih ingat saat kau bilang kalau amal kebaikanmu sudah cukup, kau rela disegerakan untuk dipanggil menghadap-Nya? bagaimana Allah tak mencukupkan pahalamu untuk ditukar dengan syurga-Nya, kau syahid isteriku, kau tukar nyawamu untuk melahirkan generasi shalih seperti anak kita, Muhammad. Insya Allah.

Sengaja kuberi ia nama Muhammad sebagai prasastiku untukmu. Muhammad dan Hamidea satu akar kata. Tentu saja dia juga sudah hafal surat cinta kesayanganmu, surat ke -47 itu.

Mimpi-mimpi kecilmu juga perlahan mulai kupahatkan pada dirinya. Memang tak sampai seperti Imam Syafi’i, di usianya yang ketujuh sekarang ini ia baru hafal 10 juz saja. Esok lusa, sebagai mimpimu, aku yakin saat dia beranjak remaja, saat ia mulai masuk sekolah menengah, dia pasti sudah hafal seluruh surat-surat cinta-Nya itu. Semuanya, seratus empatbelas surat cinta.

Hamidea, sekali-kali mohonlah izin kepada-Nya untuk mengunjungiku. Barangkali Dia berkenan. Sungguh aku rindu mendengar senandung cintamu. Senandung syahdu ayat-ayat-Nya dari mulutmu.
Hamidea, semoga cinta kita mengumpulkan kita kembali di akhirat nanti. Aku dan Muhammad, anak kita, akan berusaha mengumpulkan bekal pahala sebanyak-banyaknya. Tiada lain agar kita bisa benar-benar dikumpulkan Allah di syurga-Nya, nanti. Menyusulmu yang sudah lebih dulu mencium wanginya.

Hamidea, aku mencintaimu karena Dia.

0 komentar:

Posting Komentar