“Mas… ?” Ia menatap ke kedalaman mataku.
“Dulu, saat kita saling menjauh… “. Ia masih menatapku lekat-lekat. Kulengkungkan sedikit senyum, menenangkan binar-binar matanya yang penuh dengan tanya.
“Pernahkah Mas membenciku?” katanya.
“Dik, Aku tak pernah, dan tak akan bisa membencimu, sampai kapan pun. Insya Allah”.
Aku bukanlah lelaki yang pandai menggombal di depannya, sejak dulu. Akulah lelaki terkaku jika berpapasan dengannya. Akulah yang akan selalu mencoba tak acuh saat melihatnya. Memalingkan muka pura-pura tak tahu. Namun, jika takdir berkata lain, kami harus bertemu pandang misalnya, ujung-ujungnya pun tak akan ada yang istimewa, hanya saling panggil nama.
“Bee…”. sapaku, lalu dia akan membalasnya dengan memanggil namaku juga, “Mas Ihya…”. Hanya seperti itu.
“Benarkah Mas?” Ia geser duduknya, setengah menghadapku. Sambil digenggamnya tanganku, Ia pastikan lagi kalimat yang tadi didengarnya.
“Mas tak membenciku, meski dahulu aku menjauh? Memutuskan komunikasi saat Mas berusaha mendekatiku?”
“Mas tak pernah benci dengan sikapku itu?”
Lagi, Ia tatapkan tanya ke kedalaman mataku. Ingin menjumpai jawaban bahwa aku tak pernah membencinya sedikitpun. Tak pernah merasa disakitinya, meski dahulu dia menjauhiku, tak mengacuhkan setiap perhatian yang kuberikan kepadanya.
——-]©[-------
Sebenarnya mata ini sudah sangat kelelahan, pedih rasanya. Seharian mengelilingi teriknya Jogja, mendistribusikan puluhan undangan ke panti-panti dhu’afa. Tapi waktunya toh tinggal sebentar lagi, 20 menit lagi. Aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan kalimat itu untuknya…
“Selamat Ulang Tahun Bee… Semoga kasih sayang-Nya selalu terlimpah untukmu”.
“Selamat Ulang Tahun Bee… Wish You All The Best”.
Aku tak ingin mengucapkannya terlalu berlebihan. Apalagi terlalu lebay. Cukup kutulis seperti itu saja di dinding fesbukmu.
Ternyata, meski pedih kuintai monitor terus-menerus, aku bukanlah yang pertama mengucapkannya. Terlambat. Lewat 3 menit dari pukul 00.00. dan sudah ada seorang lelaki yang menuliskan ucapan selamat hari lahir itu di dinding fesbukmu.
Siang harinya, aku tak sabar membuka fesbuk, berharap kubaca balasan ucapan selamatku. Tak ada. Ya… hanya ucapan selamatku yang tidak kau balas.
“Terima kasih”. Lirihku dalam hati.
***
Aneh, kenapa yang angkat-angkat kursi malah anak banat*? Mana panitia laki-lakinya? Dia dan 2 orang temannya membereskan sekira 100 kursi? Memindah dan merapihkannya? GILA, pikirku.
Akhirnya kuputuskan untuk mendekatinya, jika diizinkan aku akan menyuruhnya beristirahat, biar aku saja yang merapihkan venue untuk konser amal itu.
“Kok hanya teman-teman banat* yang angkat-angkat Dik? Pada ke mana yang laki-laki?”
“Oh, belum tahu ini Mas. Belum pada datang kayaknya”. Jawabnya.
“Dah biar Mas saja yang angkat-angkat, kalian istirahat saja”. Bujukku.
“Nggak usah Mas, nggak usah repot-repot. Kami bisa kok bertiga”.
Tanpa meneruskan pembicaraan, dia bergegas ke arah dua temannya, mengangkat dan memindahkan kursi-kursi lagi. Tak lama, beberapa panitia yang laki-laki datang. Meminta maaf dan langsung turut membantu. Aku juga tetap membantu angkat-angkat dan merapikan kursi-kursi untuk audiens itu. Jika yang lain sesekali menyapa dan mengajakku berkomunikasi. Baik yang laki-laki ataupun dua teman perempuanya itu, Dia, setelah memintaku untuk tidak repot-repot membantu, tak sekalipun mengajaku berbicara.
***
Ini adalah hari yang kutunggu-tunggu, terlebih bagi kedua orangtuaku. Hari ini aku akan resmi menjadi sarjana. Menggunakan toga, Aku terlihat gagah juga rupanya. Hush.. Jangan harap ada selendang “Cumlaude” pada togaku, itu bercanda namanya. IPK-ku memang di atas 3,5 tapi sayang umur studiku sudah menjelang kadaluwarsa.
Tak apa, aku tetap bahagia kok, apalagi orangtuaku. Kebahagiaan ini tentu akan sangat lengkap jika seseorang yang istimewa ikut hadir. Dia, seseorang yang meski selalu tak acuh denganku, aku bahkan lebih acuh dengannya daripada dengan umur studiku yang tak jadi kadaluwarsa itu.
“Selamat sob…” Hary menjabat erat tanganku, lalu memelukku. Menyusul Reza, Ahmad, Robi dan teman-teman angkatanku yang saat itu juga menggunakan toga. Ya, mereka diwisuda bersamaan denganku , hanya beda sedikit, atau malah beda banyak, aku wisuda strata 1 sedang mereka diwisuda atas kesuksesan menyelesaikan program master.
“Selamat ya Kak…” ternyata anak-anak banat* remaja masjid juga datang menyelamatiku. Tak ketinggalan junior-junior banat* di pergerakan mahasiswa juga datang. Lalu, datangkah dia? Seseorang yang istimewa itu?
Hingga acara syukuran kecil-kecilan di Rumah Makan dekat kampus, dia tak terlihat ada. Bahkan teman dekatnya, yang kutitipi undangan untuknya terlihat canggung denganku. Mungkin karena dia tak hadir, menjawab undangan wisudaku.
“Terimakasih… tak apa”. gumamku.
-------]©[-------
“Mas tak pernah benci? Bahkan saat segala tentang Mas kuhapus? Kuputuskan segala akses komunikasi antara aku dan Mas saat itu?” binar matanya sekali lagi menghujam ke kedalaman mataku.
“Dik…”. Kubalas genggaman erat tangannya. Lagi, kulengkungkan senyum, tak ingin bidadari di sampingku ini lama merasai salah.
"Mas tidak pernah sedikitpun benci".
“Adik tahu, dulu, Mas mendekatimu tidak karena apa-apa. Tidak karena kau cantik, tidak karena kau kaya, tidak juga karena kau dari keluarga terpandang…”
“Adik tahu, dulu, Mas mendekatimu tidak karena apa-apa. Tidak karena kau cantik, tidak karena kau kaya, tidak juga karena kau dari keluarga terpandang…”
“Mas waktu itu hanya jatuh cinta dengan kerudungmu. Kau tutupi apa yang hanya hak mahram-mu untuk melihatnya. Kau perisai-i segala kecantikanmu dengan kerudungmu itu”.
“Dengan kerudungmu, kau tutupi auratmu, hal yang akan selalu indah dimata lelaki. Dengan kerudungmu kau jaga pandanganmu. Dengan kerudungmu kau jaga sikap-sikap tak pantas bagi seorang muslimah”.
“Dan, karena kerudungmu itu… Mas yakin, kerudungmu itulah alasan kau memutuskan segala komunikasi dengan Mas. Kau yang sudah tahu tentang perasaan Mas kepadamu, perasaan yang tak boleh kau sambut karena tidak sejalan dengan kerudung yang kau pakai. Hubungan yang mungkin akan terjalin yang bisa menyalahi aturan kerudung cantikmu itu. Jadi kenapa Mas harus benci jika karena kerudungmu itu Adik tak acuh dengan Mas? Adik putuskan segala akses komunikasi dengan Mas? Kenapa Mas harus benci? Bukankah Mas jatuh cinta juga karena kerudungmu?”.
“Dan, tahukah Dik. Saat ini Mas menjadi yang paling bahagia di dunia. Satu-satunya orang yang bisa mensyukuri anugerah Tuhan yang ada di balik kerudungmu”.
“Terimakasih telah menjaganya”.
“Mas mencintaimu karena Allah”.
](c)[
*banat, bentuk plural dari kata “bintun” (arab): perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar