Saat Kau Bilang 'Ya'

0 komentar

Seperti hujan pertama
Surprise!
yang menantinya begitu lama, sungguh sangat bahagia
yang tak menyangka terpaku menganga
yang memuja tapi tak siaga, ada sesal di sana
yang tak suka, pastilah merutuk berbusa-busa

Meski tak perlu lama kutunggu
Saat kau bilang "Ya"
Kukira, aku satu-satunya makhluq paling bahagia
Saat kau bilang ...
"Ya!"
Ya, saat kau bilang "Ya".

Drafted: few months ago
*Edited: Tlogowono, January 4, 2018

Ragu

0 komentar

Jika malam tak pekat
siang tak benderang

Jika gula dicecap tak manis, atau
garam hanya hambar-hambar saja

Jika kekasih tak betah bersamamu?

Krikilan, September 21, 2017

Ayah (3)

0 komentar

Aku pernah sampaikan kalau ayahku seorang yang kreatif. Ayah adalah seorang seniman  sunda. Era tahun 90-an menjadi puncak karirnya.

Ya, ayah adalah seorang dalang wayang golek. Daerah Ciamis, khususnya yang  menjadi wilayah Kabupaten Pangandaran sekarang, adalah jajahan utamanya.

Di era itu pula, perkumpulan mahasiswa asal Ciamis di Yogyakarta sempat mengundang ayah untuk pentas. Kata Ayah, dalam satu bulan ayah bahkan bisa menolak beberapa tawaran pentas. Jika demikian, pastilah Ayah cukup populer. Dan, itu artinya performa ngadalang ayah diapresiasi baik oleh masyarakat.

Suatu kali, ayah bercerita kepadaku mengenai awal mula belajar ngadalang (menjadi seorang dalang). Dari ceritanya itu, kukira guru pertama ayah sedikit culas. Bagaimana tidak, satu bulan ayah mondok di rumah beliau, ayah hanya diminta tidur di atas kotak penyimpanan wayang. Tak hanya itu saja, setiap hari selama sebulan itu ayah diminta berkebun dan mencangkul sawah milik beliau, sang guru. Selama itu pula, tak pernah sekalipun Ayah diizinkan memegang  wayang yang bersemayam cantik di kotak sakral itu.

"Nyangkul dulu saja sekarang mah. Nanti kalau sudah diberi wangsit sama kotak itu, baru kamu saya ajari". Begitu sang guru berfatwa.

Entah sang guru yang memang culas, atau Ayah yang tidak cukup sabar dengan trial sang guru, yang pasti dua orang ini tak sukses menjadi guru dan murid. Ayah kabur!

Singkat cerita, setelah kabur dan searching berita kesana - kemari, ayah menemukan seorang guru gaek. Seorang dalang kawakan dari bagian barat laut Ciamis.

Menurut penuturan ayah, dalam proses belajarnya ini memang ada ritual-ritual mistis. Salah satunya berendam di kolam tertentu di danau tertentu saat orang-orang desa tidur kedinginan dalam selimut. Juga, berbagai jampi dan sesaji tak pernah terlewatkan. Belakangan ayah mengira ritual dan jampi-jampi itu mirip dengan ritual dan doa-doa umat Hindu.

Masih kata ayah, murid sang guru bukanlah ayah seorang. Saat ayah mulai mondok di tempat Eyang Dalang itu, beberapa siswa --termasuk senior ayah yang di masa depan menjadi second layernya ayah- sudah ngelmu di sana.

Dari beberapa murid Eyang Dalang (termasuk beberapa senior), ayahlah yang ditahbiskan sebagai murid terbaik. Yang oleh karenanya didaulat untuk membentuk lingkung seni (grup pementas wayang) sendiri dan segera melakukan pentas. Baiknya, sang guru tak hanya mendaulat tetapi juga mempromosikan dan mencarikan lahan pentas untuk ayah. Karenanya, tak lama pasca diinagurasi itu, ayah langsung mendapat panggung, ngadalang untuk pertama kalinya di bawah lingkung seni berjuluk "Cahaya Winaya". Grup pementas wayang baru dibawah kepemimpinannya.

Karir ayah pun semakin menanjak. Oh ya, sejak awal karirnya ini ayah sudah mempersunting Ibu (ke depan akan kutuliskan seri khusus tentang Ibu, Insyaa Allooh). Ibu adalah seorang qori (pelantun al-Quran). Jadi, barangkali anak-anak beliau ini harusnya ada yang memiliki suara emas. Bagaimana tidak, ayah jago berkidung sunda sedang Ibu pelantun merdu ayat-ayat al-Quran. Tapi, sepertinya bakat itu tak sukses diwariskan. Dari hampir selusin anak-anak beliau, hampir semuanya bersuara  sumbang bin fals. Mungkin, karena saat kami-kami ini dilahirkan, penyanyi yang sedang populer adalah Kang Doel SUMBANG dan Bang Iwan FALS.

Lambat laun sepertinya karakter religius ibu mulai men-take over relung hati ayah. Jika kebetulan sedang tidak sibuk pentas, ayah tak pernah absen dari majlis ta'lim, begitupun mengaji al-Quran selepas magrib.

Pengaruh religius ini pun terbawa sampai ke lingkung seni milik Ayah. Sepengetahuan ayah, lingkung seni ayahlah yang pertama kali mereformasi (bahasa agak kerennya) jadwal waktu pementasan wayang. Umumnya, pementasan wayang itu tak memiliki jeda. Pentas siang digelar setelah akad (jika di pesta pernikhan) atau setelah seremoni formal hingga hari hampir gelap. Sedang pertunjukan malamnya dimulai sekira lepas maghrib hingga pukul 06.00 pagi. Nah, seingat ayah lingkung seni milik Ayah lah yang pertamakali mendobrak pakem itu. Setiap waktu shalat tiba, adzan mulai dikumandangkan di masjid dan langgar, the show must be paused. Dan ternyata, pola ayah ini mulai diikuti oleh grup-grup lainnya. Tak hanya itu, pakem lain yang ayah tidak patuhi adalah ritual jampi dan sesaji. Menurut Ayah nama ilah nya orang Islam itu sudah jelas, Allooh, sedang dalam jampi-ritual sebelum manggung itu yang lain. Begitu juga perihal sesaji.

Suatu ketika, saat dimana ayah sedang di puncak karirnya itu, saat pundi-pundi mengalir deras ke kantong ayah, saat ayah harus sampai menolak beberapa tawaran manggung, dalam suatu majlis ta'lim yang ayah ikuti, sang ustad berfatwa lebih kurang seperti ini:

"Kesenian wayang itu hukumnya HARAM!".

"Dalam suatu pertunjukan wayang, terhimpun dosa-dosa di sana. (Kesenian wayang itu) banyak madlhorot- nya. Meniru ritual agama lain, mempertontonkan aurat dan mengumbar syahwat (biasanya selingan wayang berupa ibing sunda, dimana penonton biasa menari dengan sinden dan memberi saweran), mengundang maksiat seperti perzinahan dan minum-minuman keras dan lain-lain. Dan yang paling bertanggungjawab atas semua itu adalah pimpinan rombongan nya, DALANG!".

Sudah dapat dibayangkan bukan, bagaimana ayah harus menelan fatwa ini? Bagaimana bingung dan takutnya ayah?

Jika anda di posisi ayahku, yang pekerjaan satu-satunya dan yang utamanya adalah Dalang, kira-kira bagaimana sikap anda?

Neyla Fauziyya #1

4 komentar

Jadi, saat itu aku menghadiri undangan tasyakuran Wisuda temanku, minggu 26 February 2017. Malas sebenarnya, karena hari sangat panas. Aneh juga sih, bikin party di siang hari terik seperti itu. Lazimnya kan, party itu di sore atau malam hari yang syahdu. Walau begitu, aku tak tahu mengapa aku akhirnya berangkat juga. Mungkin ada malaikat baik yang membujuk fikiranku, meringankan kakiku untuk melangkah, melapangkan jalanku untuk pergi ke sana.

Benar saja, perjalanan menuju Rumah Makan dan Pemancingan itu sangat terik. Moro Kangen nama tempat acara itu. Dari atas, matahari membakar rambut kelimisku. Dari bawah, uap panas aspal menjilati sepatu kets hijauku.

"Ahhhh... Apa sih motivasiku ke acara ini?".

"Acara-acara seperti ini paling cuma makan-makan lalu ngobrol basa-basi yang bikin bosan". Aku menggerutu juga pada akhirnya.

Yang menjengkelkan juga, di tempat acara belum ada siapa-siapa.
"Alah...alah...begini ini nih  kebiasaan buruk yang selalu dipelihara, rubber time.. ". Aku paling tidak suka harus menunggu seperti ini.

Untunglah, tak berapa lama setelah ku kelilingkan pandang ke sekitar, Rizki, salah seorang wisudawan datang dengan beberapa temannnya, sesama undangan.

Sudah dua orang wisudawan, yang punya acara, berarti yang datang. Tinggal seorang lagi, katanya sih yang ini perempuan.
"Halaaah... sudah ketebak, pasti telat. Perempuan dimana-mana sama saja, dandannya pasti lama".

Tigapuluh menit menunggu, barulah tamu undangan berdatangan. Kalau kuhitung-hitung mungkin sudah sekitar 20-an orang.

"Mana ini si empunya acara satu lagi?"

"Ckckckckck... Katanya tercepat-terbaik.. huh!"

"Tercepat kok malah lambat datangnya.. sok spesial banget sih dia. Sok penting, ditungguin banyak orang. Menyebalkan".

Acara pun akhirnya dimulai. Katanya, si wisudawati yang sok spesial ini emang bakalan telat datangnya.

"Lempeng amat dia kirim pesan seperti itu kan? Dasar!".

Beberapa yang diamanahi menjadi Panitia mulai memesan makanan dan minuman.

MC membuka acara dengan basa-basi alakadarnya.

"Sebelumnya ada permohonan maaf dari Kak Neyla buat hadirin semuanya.  Katanya, Teh Neyla datang agak telat".

"Saat ini beliau baru mau berangkat dari Pondok-nya".

"Tadi dipanggil menghadap Pak Kyai nya dulu katanya".

"Insyaa Allooh, Lima belas menitan lagi sudah akan bersama kita".

Hmmmh... Ternyata anak sok penting ini anak Pondok. Sebagai yang pernah nyantri, Pondok dan orang-orang Pondok memiliki tempat tersendiri di hati-ku. Walau begitu, aku tak percaya begitu saja alasan kenapa dia telat. Aku yakin, sebab sebenarnya ya kebiasaan dan bakat bersolek dia yang kaum hawa itu.

Bersambung ...