Noura #1

“Bunda…”. Disandarkannya kepala ke pundak sang bunda, mencari rasa nyaman. Sebenarnya, yang dalam hatinyalah yang ingin Ia sandarkan. Ingin menitipkan sebagiannya, yang cemas dan gulana.


Di luar sana, rembulan serupa sabit yang ramping. Tanda jika bulan ini --Sya’ban, bulan kedelapan dari tahun hijriyah itu masih belia. Di langit, lembaran-lembaran awan mulai terpapar, bak selimut yang perlahan dihamparkan. Itu juga tanda, petunjuk waktu alamiah. Tanyakan saja pada para pecinta alam atau adik-adik pramuka penggalang, jam berapa biasanya awan mulai menyelimuti langit seperti malam itu? 

Dua perempuan, Ibu dan anak itu untuk beberapa saat membisu. Mencari waktu dan kalimat yang tepat untuk diutarakan. Dengan lembut, Noura menyerai-nyerai jari sang bunda. Sesekali dijabat erat, dibolak-balik dan dipandang lekat-lekat. Pikiran gadis itu terus memutar ulang kejadian sore tadi. Seorang lelaki yang cukup dikenalnya datang bertamu. Tanpa keluarga atau kolega yang mengantarnya, tanpa pemberitahuan sebelumnya menyampaikan hal yang begitu mengejutkan.
]©[

Jumat ini, seperti biasa Noura pulang tepat pukul 15.00. Entah mengapa, dia lewatkan satu kebiasaannya selepas kerja, berkunjung ke poliklinik Masjid Raya. Perasaan sudah menuntunnya untuk lekas-lekas pulang ke rumah. 

Hampir satu menit menunggu, akhirnya pintu terbuka.Perempuan berbaju sederhana tampak dari balik pintu.
“Assalamu’alaikum”. Ihya menguluk salam.
“Wa ‘alaikumussalaam”.
“Betul ini rumahnya dokter Hary?”
Nggeh, betul, Mas-nya mau ketemu Bapak? Sudah janjian?”.
“Oh, belum. Apa Bapak sedang kondur Bu?”.
“Oh, nggak Mas, Bapak ada kok, lagi sama Ibu di ruang keluarga”. Kata perempuan paruh baya itu.
“Syukurlah kalau Ibu juga ada”. Jawab Ihya.
“Tunggu sebentar ya Mas, saya tanya Bapak dulu”. Tanpa mempersilakan Ihya masuk, perempuan itu langsung balik badan dan meninggalkannya.

Menghadap dua daun pintu selebar 200 cm itu, Ihya tampak gugup. Wajahnya pucat perlahan-lahan. Benaknya melompat beberapa masa ke depan, kira-kira bagaimana takdirku satu atau dua jam berikutnya? Sesuai yang diharapkan atau sebaliknya? Begitulah. Pandangannya seakan menembus balkon lantai dua rumah itu. 

Manakala benaknya melompat-lompat seperti itu, sebuah suara membuatnya terjaga kembali.
Sinten nggeh?”.Perempuan bergamis ungu, berkerudung biru-violet menyapanya dari balik pintu. 
“Saya Ihya Bu, temannya Noura”. Jawab Ihya yang tetap tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Oh, monggo masuk Mas Ihya.Temannya Noura tha?”.
“Monggo... monggo... pinarak Mas Ihya”.
“Siapa Bu?”. Seorang lelaki seusia 50  tahunan muncul kemudian. Kumis tipisnya tercukur rapi, begitu juga rambut dengan uban sporadisnya. 
Teman kerjanya Noura Pak”.
“Oh,  temannya Noura tha? Lah, Noura masih di RS ‘kan Bu?”.
“Iya, paling bentar lagi juga pulang. Telat-telatnya sebelum maghrib biasanya”. Jawab Bu Rahma.

Ihya memperkenalkan diri, sedikit berbasa-basi termasuk mengklarifikasi bahwa dia bukanlah teman kerja Noura di Rumah Sakit. Mana mungkin dia bekerja di Rumah Sakit sementara dia hanya lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam.
“Jadi jenengan ini Ustadz tha, Saya kira teman kerja Noura di RS. Kenal dengan Noura di mana?”.  Tanya Bu Rahma.
“Tepatnya hanya pengajar TPA Bu”. Jawab Ihya sedikit tersipu. Dan, mungkin mulai dihinggapi rasa minder juga.
“Kenal Noura hampir setahun lalu Bu, biasanya kan ba’da ashar Noura membantu kami di masjid. Membantu operasional poliklinik. Kadang, jika tidak ada jama'ah yang minta ditensi atau sekedar tanya-tanya, Noura juga membantu kami mengajari anak-anak membaca Al-Quran”.
“Oh, begitu ya. Makanya Noura selalu pulang menjelang maghrib, padahal  jadwal di RS kan cuma sampai jam empat”. Timpal Bu Rahma. Pak Hary terlihat manggut sedikit, lalu dengan suara hematnya menanyai Ihya.
“Jadi, Nak Mas ini hendak bertemu Noura atau bagaimana?”.
“Oh, Anu... Pak, Bu, sebenarnya…”. 

Bunyi pintu mobil yang ditutup diiringi dengan bunyi kunci pengaman terdengar di luar sana. Dan, dalam hitungan detik terdengar salam dari pintu utama yang terhubung langsung dengan ruang tamu. 
“Assalamualaikum…”. Seorang perempuan muda berkerudung biru langit, jilbab biru laut serta jas putih di aisan tangannya muncul. Sekilas dia dan Ihya beradu pandang. Dua atau tiga detik mungkin. Entahlah ekspresi wajah mereka seperti apa.
“Sudah pulang nduk? kebetulan, ini ada temanmu silaturrahim ke rumah”.  Lagi, mereka dipaksa saling beradu pandang.
“Assalaamua’alik Mas Ihya…”. Perempuan muda yang tak lain adalah Noura itu memberi salam sambil menangkupkan tangan. Yang disalami membalas dengan cara yang sama.
"Duduk Nduk". Pinta Bu Rahma.
"Oh, Noura permisi sebentar Pak, Bu, Mas Ihya, nyimpan tas dan cuci muka dulu". Jawabnya.
Lima menit kemudian, Noura sudah ada bersama mereka. Duduk persis di samping Bu Rahma. Wajahnya terlihat lebih segar dibanding saat tadi datang, sepertinya baru teraliri air wudlu.

Ihya kembali memulai, menyampaikan maksud kedatangannya sore itu. Selain bersilaturrahim, ada maksud khusus yang ingin disampaikannya. Tepat saat kalimat inti itu diucapkan, Noura sedikit tercekat dari duduknya. Sebelah tangannya reflek menggamit tangan sang bunda.
“Mungkin ini kesannya tiba-tiba dan tanpa perencanaan.Tapi jujur saya sudah memikirkan dan menyiapkan segalanya jauh-jauh hari”.
“Termasuk datang sendiri seperti ini?”. Selidik dokter Hary. Alisnya terlihat sedikit kerung. Mungkin keheranan, untuk hal sepenting ini Ihya hanya datang sendirian saja. Padahal biasanya kalaupun tidak datang bersama orangtua minimal ada wakil dari orang yang dituakan.
Nggeh Pak, maaf”. Jawab Ihya. Ihya sepertinya insaf dengan pertanyaan dokter Hary. Etikanya Ihya datang bersama keluarga ataupun kolega. Tapi, seperti yang tadi disampaikannya, semua sudah atas pertimbangan terbaik menurut pemikirannya.
“Hmhhh…”. Sambil menghembuskan nafas --berat, dokter Hary memberikan konfirmasi. “Jujur, sebagai orangtua saya cukup terkejut, dan ya... saya fikir anda sangat berani”.
“Bagaimanapun, sebagaimana  tuntunan  agama kita, saya dan isteri masih punya hak untuk turut memilihkan suami yang terbaik untuk Noura. Ya kan Bu?”. Seru dokter Hary.
“Betul Mas Ihya, hanya perempuan yang pernah bersuamilah yang bebas menentukan pilihannya sendiri, begitu kan?". 
"Nggeh Bu". Sambil menganggukan kepala, Ihya menjawab. 
"Tapi kami tetap memberi kesempatan Noura jika ingin menyampaikan sesuatu”. Bu Rahma kemudian menujukan pandangan  pada Noura.

Beberapa saat Noura terdiam. Sepertinya berfikir dalam-dalam, memilah dan memilih kalimat  yang tepat untuk disampaikan. Sayup-sayup terdengar suara murattal dari masjid. Terdengar juga suara shalawat dan puji-pujian untuk Sang Rasul dari masjid lainnya. Sepertinya bedug maghrib akan segera tiba.
]©[
Lembar-lembar awan yang tadi perlahan-lahan rebak, kini sudah hampir menutupi langit malam itu. Bulan ramping itu pun hanya sesekali saja terlihat, kadang sabitnya malah hanya terlihat sebagai bayangin yang kabur. 

Udara malam sesekali bertiup agak kencang, menebar hawa dingin musim kemarau dari sela ventilasi rumah itu. Kebetulan Bulan Sya’ban tahun ini bertepatan bulan Juli pada penanggalan kalender masehi, kemarau sedang di puncaknya.
“Bu... sebaiknya Noura memberi jawaban seperti apa?”.
“Dari ceritamu barusan, cerita bagaimana perasaanmu padanya, bagaimana calon suami yang kau inginkan, bunda hanya bisa menyarankan satu hal, mohonlah petunjuk dari-Nya, shalat istikharah mulai malam nanti ya Nduk!”.

Bersambung ...


0 komentar:

Posting Komentar