Ayah (3)

Aku pernah sampaikan kalau ayahku seorang yang kreatif. Ayah adalah seorang seniman  sunda. Era tahun 90-an menjadi puncak karirnya.

Ya, ayah adalah seorang dalang wayang golek. Daerah Ciamis, khususnya yang  menjadi wilayah Kabupaten Pangandaran sekarang, adalah jajahan utamanya.

Di era itu pula, perkumpulan mahasiswa asal Ciamis di Yogyakarta sempat mengundang ayah untuk pentas. Kata Ayah, dalam satu bulan ayah bahkan bisa menolak beberapa tawaran pentas. Jika demikian, pastilah Ayah cukup populer. Dan, itu artinya performa ngadalang ayah diapresiasi baik oleh masyarakat.

Suatu kali, ayah bercerita kepadaku mengenai awal mula belajar ngadalang (menjadi seorang dalang). Dari ceritanya itu, kukira guru pertama ayah sedikit culas. Bagaimana tidak, satu bulan ayah mondok di rumah beliau, ayah hanya diminta tidur di atas kotak penyimpanan wayang. Tak hanya itu saja, setiap hari selama sebulan itu ayah diminta berkebun dan mencangkul sawah milik beliau, sang guru. Selama itu pula, tak pernah sekalipun Ayah diizinkan memegang  wayang yang bersemayam cantik di kotak sakral itu.

"Nyangkul dulu saja sekarang mah. Nanti kalau sudah diberi wangsit sama kotak itu, baru kamu saya ajari". Begitu sang guru berfatwa.

Entah sang guru yang memang culas, atau Ayah yang tidak cukup sabar dengan trial sang guru, yang pasti dua orang ini tak sukses menjadi guru dan murid. Ayah kabur!

Singkat cerita, setelah kabur dan searching berita kesana - kemari, ayah menemukan seorang guru gaek. Seorang dalang kawakan dari bagian barat laut Ciamis.

Menurut penuturan ayah, dalam proses belajarnya ini memang ada ritual-ritual mistis. Salah satunya berendam di kolam tertentu di danau tertentu saat orang-orang desa tidur kedinginan dalam selimut. Juga, berbagai jampi dan sesaji tak pernah terlewatkan. Belakangan ayah mengira ritual dan jampi-jampi itu mirip dengan ritual dan doa-doa umat Hindu.

Masih kata ayah, murid sang guru bukanlah ayah seorang. Saat ayah mulai mondok di tempat Eyang Dalang itu, beberapa siswa --termasuk senior ayah yang di masa depan menjadi second layernya ayah- sudah ngelmu di sana.

Dari beberapa murid Eyang Dalang (termasuk beberapa senior), ayahlah yang ditahbiskan sebagai murid terbaik. Yang oleh karenanya didaulat untuk membentuk lingkung seni (grup pementas wayang) sendiri dan segera melakukan pentas. Baiknya, sang guru tak hanya mendaulat tetapi juga mempromosikan dan mencarikan lahan pentas untuk ayah. Karenanya, tak lama pasca diinagurasi itu, ayah langsung mendapat panggung, ngadalang untuk pertama kalinya di bawah lingkung seni berjuluk "Cahaya Winaya". Grup pementas wayang baru dibawah kepemimpinannya.

Karir ayah pun semakin menanjak. Oh ya, sejak awal karirnya ini ayah sudah mempersunting Ibu (ke depan akan kutuliskan seri khusus tentang Ibu, Insyaa Allooh). Ibu adalah seorang qori (pelantun al-Quran). Jadi, barangkali anak-anak beliau ini harusnya ada yang memiliki suara emas. Bagaimana tidak, ayah jago berkidung sunda sedang Ibu pelantun merdu ayat-ayat al-Quran. Tapi, sepertinya bakat itu tak sukses diwariskan. Dari hampir selusin anak-anak beliau, hampir semuanya bersuara  sumbang bin fals. Mungkin, karena saat kami-kami ini dilahirkan, penyanyi yang sedang populer adalah Kang Doel SUMBANG dan Bang Iwan FALS.

Lambat laun sepertinya karakter religius ibu mulai men-take over relung hati ayah. Jika kebetulan sedang tidak sibuk pentas, ayah tak pernah absen dari majlis ta'lim, begitupun mengaji al-Quran selepas magrib.

Pengaruh religius ini pun terbawa sampai ke lingkung seni milik Ayah. Sepengetahuan ayah, lingkung seni ayahlah yang pertama kali mereformasi (bahasa agak kerennya) jadwal waktu pementasan wayang. Umumnya, pementasan wayang itu tak memiliki jeda. Pentas siang digelar setelah akad (jika di pesta pernikhan) atau setelah seremoni formal hingga hari hampir gelap. Sedang pertunjukan malamnya dimulai sekira lepas maghrib hingga pukul 06.00 pagi. Nah, seingat ayah lingkung seni milik Ayah lah yang pertamakali mendobrak pakem itu. Setiap waktu shalat tiba, adzan mulai dikumandangkan di masjid dan langgar, the show must be paused. Dan ternyata, pola ayah ini mulai diikuti oleh grup-grup lainnya. Tak hanya itu, pakem lain yang ayah tidak patuhi adalah ritual jampi dan sesaji. Menurut Ayah nama ilah nya orang Islam itu sudah jelas, Allooh, sedang dalam jampi-ritual sebelum manggung itu yang lain. Begitu juga perihal sesaji.

Suatu ketika, saat dimana ayah sedang di puncak karirnya itu, saat pundi-pundi mengalir deras ke kantong ayah, saat ayah harus sampai menolak beberapa tawaran manggung, dalam suatu majlis ta'lim yang ayah ikuti, sang ustad berfatwa lebih kurang seperti ini:

"Kesenian wayang itu hukumnya HARAM!".

"Dalam suatu pertunjukan wayang, terhimpun dosa-dosa di sana. (Kesenian wayang itu) banyak madlhorot- nya. Meniru ritual agama lain, mempertontonkan aurat dan mengumbar syahwat (biasanya selingan wayang berupa ibing sunda, dimana penonton biasa menari dengan sinden dan memberi saweran), mengundang maksiat seperti perzinahan dan minum-minuman keras dan lain-lain. Dan yang paling bertanggungjawab atas semua itu adalah pimpinan rombongan nya, DALANG!".

Sudah dapat dibayangkan bukan, bagaimana ayah harus menelan fatwa ini? Bagaimana bingung dan takutnya ayah?

Jika anda di posisi ayahku, yang pekerjaan satu-satunya dan yang utamanya adalah Dalang, kira-kira bagaimana sikap anda?

0 komentar:

Posting Komentar