Embun di Pucuk Daun #2


Aku tahu siapa aku, selalu saja kamu dan golonganmu yang dipantas-pantaskan untuk menjadi nomor satu. Tak peduli seburuk apa perangai dan tingkahlakumu. Tak peduli meski setiap hari kau paksa aku melayanimu. Menuruti perintah dan hasrat seinginmu. Aku hanya bisa menghibur diri dengan menganggapmu sudah kuperalat, menjadikanmu alat yang akan kutukar kepada Tuhan dengan pahala. Meski aku tak tahu, Tuhan berani menghargai berapa pahala untuk ditukar dengan orang sepertimu.
***

Saat itu, setelah kau shalat isya, setelah kau berdo’a entah memohon apa kepada Tuhan, seperti biasa, lekas-lekas kau menuju meja bacamu. Membuka buku bertulisan huruf arab setebal 6 cm, dan kamus dengan tulisan yang sama setebal 10 cm. Seperti biasa pula, kau memanggilku. Memintaku melakukan sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah kau lewatkan setiap malam. Tidak seperti aku yang hanya kau datangi sewaktu-waktu, jika kau mau.

“Dik, tolong buatkan kopi!”

Saat seperti itu biasanya kau menoleh ke arahku sambil menanggalkan kacamatamu ke atas meja. Setelah kau letakan, kau pakai lagi kacamata tebalmu itu, aneh. Diletakkan sebentar kemudian dipakai lagi. Mungkin kamu sudah pikun. Eh, pikun? bukankah umurmu sudah 60, eh, 60, 45, 70 atau 50 ya? Ah, apakah aku yang justru pikun?

Sepertinya aku yang pikun, karena, kata orang, manusia yang setiap hari membaca, daya ingatnya tetap terjaga sampai tua. Bukankah setiap malam kamu membaca buku yang tebal-tebal itu? dan setiap malam itu pula ditemani kopi panas yang kuseduhkan?
Biarlah, pantas jika aku cepat pikun. Setiap malam kamu asik sendiri dengan duniamu, tak pernah memperhatikan aku. Tak peduli dengan perasaanku yang penuh hasrat akan belaian hangatmu.

Betapa setiap malam aku memimpikan, kau tinggalkan buku dan segelas kopimu itu. Lalu, kau menghampiriku, memelukku dari belakang, tanpa kusadari. Lalu, aku kaget. Lalu, dengan pura-pura tidak mau, aku akan berusaha melepaskan lengan dan bahu kukuhmu dari punggungku. Lalu, kau tetap memaksa dan bahkan membalikkan badanku. Lalu kita berpelukan penuh kehangatan, menumpahkan segala hasrat hingga hilanglah segala penat seharian. Ah…. Itulah yang membuatku cepat pikun, karena itu hanya khayalan yang setiap malam ada di pikiran.

Aku memang tidak suka kopi. Bahkan kopi telah membuatku kehilangan hasrat. Bau kopi itu telah merenggut gairah dan kepuasan yang ingin kudapatkan saat kita berpagutan. Padahal waktu-waktu itu yang selalu kutunggu. Saat kau mendatangiku. Sepertinya aku telah benar-benar kalah oleh makhluq bernama kopi itu, kau telah direbutnya. Waktumu, pikiranmu, hasratmu semuanya kopi. Aku benci kopi.
]©[

Aku benci kopi. Aku benci saat kau pinta aku membuatkan kopi. Kini, aku juga benci orang yang menyukai kopi. Aku benci kamu, suamiku. Selama ini, aku menuruti keinginanmu tanpa keikhlasan sama sekali. Semuanya terpaksa, karena jika tidak kuturuti aku takut menjadi penghuni neraka akibat durhaka kepadamu.

Kini aku tahu siapa aku dalam persepsi dunia yang terlanjur didominasi otoritasnya oleh golonganmu. Selalu saja kamu dan golonganmu yang dipantas-pantaskan untuk menjadi nomor satu. Tak peduli seburuk apa perangai dan tingkahlakumu, tak acuhkan diriku. Asik dengan duniamu sendiri. Setiap malam bercengkrama dengan buku dan kopi. Sedang aku tak kau acuhi.

Tamat.

0 komentar:

Posting Komentar