Embun di Pucuk Daun #1


Aku tahu siapa aku, selalu saja kamu dan golonganmu yang dipantas-pantaskan untuk menjadi nomor satu. Tak peduli seburuk apa perangai dan tingkahlakumu. Tak peduli meski setiap hari kau paksa aku melayanimu. Menuruti perintah dan hasrat seinginmu. Aku hanya bisa menghibur diri dengan menganggapmu sudah kuperalat, menjadikanmu alat yang akan kutukar kepada Tuhan dengan pahala. Meski aku tak tahu, Tuhan berani menghargai berapa pahala untuk ditukar dengan orang sepertimu.
]©[

“Dik, tolong buatkan kopi!”

Sudah menjadi kebiasaanmu setiap malam, membaca buku sambil nonton TV. Gara-gara kebiasaan itu pula jarang kusertakan susu hangat sebagai menu hidangan malam hari. Aku suka susu hangat, tapi kamu lebih suka kopi pahit. Tiga sendok penuh kopi tambah satu sendok gula untuk segelas kecil. Apa enaknya? Aku ikuti saja kemauanmu.

“Mbok ya kalau malam itu minum susu hangat saja Mas!”

Pernah beberapa hari yang lalu kutawarkan susu hangat untukmu. Tapi, seperti biasanya kau hanya tersenyum tipis sambil memandang lembut ke arahku.

“Kopi saja Dik!” balasmu, masih dengan suara yang lembut. Senyum tipismu itu pun masih setia di bibirmu. Senyum yang dahulu menjadi kebanggaanku di depan teman-teman sebaya. Mereka selalu iri, mengapa engkau si pemilik senyum tipis yang menawan itu jatuh hati kepadaku.
]©[

“Dik, tolong buatkan kopi!”

Dengan senyumanmu yang kubanggakan itu, kau minta kubuatkan segelas kopi. Alamak,saat belanja tadi pagi, aku tidak membeli kopi. Maklumlah, aku kan nggak suka kopi. Aku lebih suka susu hangat. Susu kan baik untuk kesehatan. Aku masih ingat, dahulu saat masih kelas 3 sekolah dasar , aku adalah siswi tercepat yang hafal tentang empat sehat lima sempurna. Nasi, lauk-pauk, sayur-mayur, buah-buahan dan susu. “Tuh kan… susu, bukan kopi!”. Tapi tak apalah, aku penuhi saja keinginanmu.

“Ini Mas kopinya!”

Kuletakkan kopi itu di meja bacamu. Saat itu, hampir 10 detik kita beradu pandang, begitu lekat. Tak ketinggalan terukir indah senyum tipis di bibirmu. Aku pun membalas dengan senyuman yang kuusahakan semanis senyummu.

“Terimakasih Dik”. Katamu penuh kehangatan. Kuputuskan untuk duduk sebentar. Ingin tahu bagaimana reaksimu setelah menyeruput kopi hangat yang kubuat.

“Kopinya enak sekali Dik, sama rasanya dengan racikan merk terkenal”

Itulah kali pertama aku merasa sakit hati. Aku bukanlah perempuan bodoh yang tidak bisa membedakan pujian dan sindiran. Aku seorang sarjana, lulusan Fakultas Filsafat sebuah universitas terkenal. Aku tahu kalimatmu tadi bukanlah pujian. Aku tahu kopi yang kubuat tak sesuai dengan yang kau inginkan. Sehingga kalimat itu keluar dari mulutmu. Menyebut kopi buatanku seperti racikan merk terkenal. Padahal kau protes, aku hanya menyeduhkanmu kopi dan gula yang dijual bungkusan, rasa merk terkenal, rasa pabrik.

“Besok nyeduhnya pakai air mendidih ya Dik, kopinya tiga sendok penuh, gulanya satu sendok saja. Tidak usah pakai mug, pakai gelas kecil!”. Jelas kan?!, sudah jelas kan?! Kalimat pertamamu tadi bukan pujian. Aku sakit hati. Titik.
]©[


Bersambung...

26 Oktober 2010

0 komentar:

Posting Komentar