Bunga Melati untuk Emah dan Abah #3



Pamarican 23 September 2008 / 23 Ramadhan 1429 H, pukul 10.00 WIB.

“Pa coba si Kasep di telepon, tanyakan kapan ceunah mau pulang kampung. Lebaran kan tinggal seminggu lagi. Emah mah sudah rindu”. Kata Emah Hasanah kepada suaminya. Abah Faruq segera memijit-mijit tombol telepon rumahnya. Tigapuluh detik… satu menit… telepon tidak diangkat. “Nggak diangkat teleponnya Mah” sahut Abah.

Abah lantas pergi ke dapur. Ia teringat rebusan air, pasti sudah mendidih. Sesampainya di dapur, diangkatnya panci berisi air mendidih itu dari tungku. Diciduknya segelas air mendidih dan dituangkan ke gelas berisi serutan gula aren. Abah memang suka sekaliwedang gula aren. Kalau kebetulan sedang punya uang, biasanya ia tambahkan susu kental manis putih ke wedang gulanya itu.
“Bah, coba di telepon lagi atuh si Kasep teh, Emah mah rasanya rindu sekali, dan…” Tiba-tiba saja perkataan Emah sedikit bergetar. “…Emah mah merasa aneh juga, kayaknya seperti nggak bakal ketemu lagi”. Kata Emah Hasanah lirih.

Di matanya yang sudah mulai cekung itu terlihat genangan air mata yang tertahan. Memang sudah hampir satu tahun dia tidak bertemu dengan anak lelakinya itu. Anak lelaki yang ia harapkan akan bisa dibanggakan. Anak lelaki yang sengaja Ia sekolahkan tinggi-tinggi agar bisa menjadi tuturus yang mampu membawa sanak saudaranya ke kehidupan yang lebih baik.
Sekitar duabelas menit setelah panggilan pertama, Abah mencoba menelepon lagi. Tuut… tuuut… tuut… tidak ada yang menjawab juga. Ia tekan tombol redial, Tuut… tuut… tuut tetap tidak di angkat. Bahkan saat di redial lagi, hanya suara operator yang memberitahukan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif.
][

Pukul 15.30 Ia baru selesai jama`ah Shalat Ashar. Lagi-lagi sore itu ia jama'ah di Masjid Muttaqin. Selain pagi, ia pun biasa mangkal di Pasar Beringharjo setiap sore. Setiap sore ia tidak mengangkut karung-karung kentang seperti pada pagi hari. Ia biasanya memungut ceceran berambang bawang yang terbuang. Itu pun biasanya ia meminta izin terlebih dulu pada pemilik kios. Ia ingat pesan Emahnya

“Kasep… ingat, kita harus selalu menjaga kesucian dzahir dan bathin. Makanan yang kita makan selain halal juga harus thoyyib. Jangan memakan makanan yang bukan milik kita, pun barang yang tidak jelas kepunyaan siapa. Kamu harus meminta izin terlebih dahulu. Jika kamu tidak mendapatkan izin atau tidak menemukan orangnya untuk dimintai izin, jangan sekali-kali kamu berani memakannya. Yang halal itu sudah jelas, yang haram juga sudah jelas, adapun yang belum jelas antara halal dan haram sebaiknya kamu abaikan saja”.

Petuah Emah dan Abah waktu kecil itu selalu teringat dibenaknya. Masalah makanan ini Emah dan Abahnya sangat berhati-hati. Mereka berdua sangat takut jika di aliran darah anak-anaknya ada barang haram. Emah dan Abah adalah yang mulia cita-citanya. Mereka selalu mendoakan agar di akhirat kelak kami bisa berkumpul dalam keridloan Allah. “Di Taman Firdaus-Mu ya Allah… perkenankan kami…”.

Pukul 16.00 Ia berhasil mengumpulkan sekitar 8 ons berambang bawang. Biasanya berambang bawang itu ia jual kembali di warung dekat kos-kosannya atau malah dibeli oleh salahsatu pemilik kios.
Setelah kembali membersihkan diri, ia bergegas menuju Masjid Syuhada di Kotabaru. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari pasar. Ia ingat jam 16.30 setiap bulan Ramadhan ada kajian menjelang berbuka di Masjid Syuhada.

Dalam perjalanan menuju Masjid Syuhada, tepat di perempatan Jalan Mataram dia melihat spanduk iklan bertuliskan: “NIKMATNYA IBADAH UMROH RAMADHAN BERSAMA BAITUL-AZAM”. Spontan hati dan bibirnya bermunajat, “Tuhan jika Engkau izinkan…. “.
Ia sampai di Masjid Syuhada bertepatan saat Panitia Ramadhan 1429 H Masjid Syuhada mengumumkan agar para jama'ah segera memasuki ruang utama masjid, tanda kajian menjelang berbuka akan segera dimulai.

Masjid sudah terlihat ramai. Gelas-gelas berisi teh dan kolak sudah tersaji, berjejer di meja tempat petugas ta`jil. Setiap tahun Panitia Ramadhan Masjid Syuhada memang selalu memberikan ta`jil untuk jamaah. Setiap harinya sekitar 400 jamaah berbuka di masjid ini.

Saat itu ternyata pengisi kajian adalah K.H. Sumardi Asyhar. Beliau adalah ulama terkemuka di Jogja. Selain ulama beliau adalah pengusaha sukses, pemilik biro perjalanan haji. Dan, kebetulan sekali bahasan pada sore itu tentang haji dan umroh. Dua hal yang selalu meliputi benaknya, cita-cita mulianya. “Tuhan jika Engkau izinkan…. “.

Setelah sekitar 15 menit mendengarkan ceramah, saat K.H. Sumardi memaparkan bagaimana indah dan nikmatnya beribadah haji, Ia tertidur, duduk merunduk. Ya, Ia tertidur dan bermimpi.
Dalam mimpinya ia melihat Emah dan Abah begitu berseri-seri roman mukanya. Emah dan Abah terlihat begitu segar, seperti masih muda. Mereka terlihat bergandengan tangan, bahagia.
“Aih, kenapa Emah dan Abah memakai pakaian serba putih?”. Gumamnya.
“Kenapa pula dengan orang-orang di dekat mereka? Semuanya memakai pakaian serba putih, Ah… adakah itu pakaian ihram? Ah… benarkah? Benarkah ya Allah? Semakin ia menajamkan matanya, pemandangan itu semakin jelas, jelas dan jelas. Emah dan Abahnya sedang wuquf di Arafah.
“Akhirnya… akhirnya Engkau panggil mereka ya Allah, akhirnya Emah dan Abah Engkau undang ke rumah-Mu, akhirnya Emah dan Abah menjadi salah satu tamu di bait-Mu. Ya Allah jadikanlah mereka sebagai salah satu tamu yang Engkau kasihi, muliakan mereka ya Allah… terimakasih… terimakasih ya Allah, jamulah mereka dengan jamuan kemuliaan-Mu ya Allah. Sungguh, mereka sangat rindu bertemu dengan-Mu. Sungguh, mereka sangat mencintai-Mu, tiada sedikitpun mereka berani membagi cinta selain hanya untuk-Mu. Sungguh mereka setia memuja-Mu Ya Dzal Jalaali wa-l-Ikraam!”.
Demi melihat pemandangan itu ia begitu gembira. Ia berusaha mendekati Emah dan Abah-nya, ingin berucap syukur bersama. Ia panggil Emah dan Abah-nya. Emah dan Abah pun menoleh ke arahnya.
“Emah… Abah… ini Ananda…!”.

Mereka pun tersenyum. Susah payah ia mendekati mereka berdua. Saat jarak antara ia hanya tinggal 20 cm saja serta merta ia rentangkan kedua tangannya, hendak memeluk Emah dan Abahnya. Tetapi jarak 20 cm itu tetap memisahkan mereka, entah mengapa.
“Emah, Abah… ini Nanda. Nanda senang akhirnya Emah dan Abah dipanggil bertamu oleh Allah ke rumah-Nya. Mah, Bah, mungkin Emah dan Abah tidak tahu jika sejak dulu Nanda selalu berdoa… Nanda selalu berdoa suatu hari nanti bisa menghajikan Emah dan Abah… meski sekarang entah siapa yang menghajikan Emah, meski Nanda tidak tahu siapa yang membiayai perjalanan Abah, Nanda tetap senang. Nanda senang sekali. Emah dan Abah juga pasti senang kan?
Mah, nanti kalau Emah dan Abah pulang haji, akan nanda rangkaikan karangan bunga melati untuk Emah dan Abah. Sungguh Mah, Nanda mencium wangi melati dan semilir kesturi dari tubuh Emah dan Abah saat ini.

Mah, Bah, nanti kalau sudah sampai di Indonesia telpon Nanda ya. Nanti sehabis berbuka puasa biar Nanda beli baterai hand phone yang baru. Kan repot kalau Emah dan Abah ingin memberi kabar tapi hand phone butut nanda ngedrop”.

Emah dan Abah ternyata hanya tersenyum kemudian pergi lagi. Tak sempat ia peluk. Perasaan yang membuncah di dadanya tak sempat ia tumpahkan dalam pelukan hangat Emah dan Abahnya. Meskipun sedih, Ia merelakan, Ia tidak ingin mengganggu kekhusyuan ibadah Emah dan Abahnya.

Tiba-tiba saja pundaknya disentuh oleh seseorang dari arah belakang “Mas, sudah saatnya berbuka…”. “Mas… mas… sudah saatnya berbuka mas…!”. Akhirnya Ia tersadar, Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang sangat indah, mimpi Emah dan Abah sedang menunaikan Ibadah Haji. Harapannya terwujud meski hanya dalam mimpi, meski bukan ia yang menghajikan mereka berdua sebagaimana cita-citanya selama ini. Sebelum ifthor, berbuka dengan sesuatu yang manis yang telah disediakan Panitia Ramadhn Masjid Syuhada, ia bersujud,“Tuhan jika Engkau izinkan…. “.
][
Bersambung...

18 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar