Dilipatnya sajadah yang telah enam tahun setia menyaksikan ia bersujud. Detik jam jelas terdengar kala itu. Lolong pekat malam masih terasa mensyahdukan setiap tasbih di bibirnya. Meski angin malam terasa menusuk kulit, meski mata masih malas terbuka, alah bisa karena biasa itulah yang membuatnya tidak pernah absen shalat malam, tahajjud. Ia jadikan sepi malam untuk menyendiri membujuk Tuhannya berbelas kasih.
“Tuhan jika Engkau izinkan…. “.
Kalimat itu setiap malam terpaut dari bibirnya. Angan mulianya hanya itu. Rasa cinta kepada Emah dan Abah, balas cinta duapuluhsatu tahun yang ingin ia berikan. Hanya itu, Tuhan jika Engkau izinkan…..
][
Pagi itu adalah hari ke duapuluhtiga di bulan Ramadhan.
“Tole… masih kuliah kamu hari ini?”. Pak Karjo pemilik salah satu kios di Pasar Beringharjo menyelidik.
“Iya Pak, kuliah baru akan libur setelah tanggal 25 Ramadhan” sahutnya.
Pak Karjo terlihat mendekatinya. Diurungkan niatnya untuk bergegas menuju Masjid Muttaqin, biasanya ia numpang membersihkan badan di Masjid itu sebelum berangkat ke kampus.
“Kuliahnya jam sepuluh tha?” Pak Karjo bertanya sambil melirik jam tangan Alba-nya, (pukul 09.40).
“Iya Pak seperti biasa…”.
Pak Karjo terlihat mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari tas, hendak memberikan upah kerjanya hari ini. Tiba-tiba saja Mas Karyo datang dari arah selatan.
“Kang, kentang yang dari Temanggung sudah sampai. Baru saja parkir di depan gerbang pasar”.
Mendengar perkataan Mas Karyo, dahinya sedikit mengernyit. Ia tak mungkin pergi begitu saja jika karungan kentang masih belum sampai di kios. Tapi, duapuluh menit lagi ia harus kuliah.
“Tole… sebelum kuliah kamu angkatin dulu kentangnya ke kios ya!”.
Tanpa menoleh lagi Pak Karjo bergegas kembali ke kios, mungkin menyiapkan cash untuk biaya kirim satu pick-up kentang dari Temanggung itu. Pak Karjo urung memberikan upahnya hari ini.
Ia pun bergegas. Jangan sampai waktunya terbuang. Dengan langkah letihnya Ia ikuti arah langkah Mas Karyo. Keletihan yang bahkan orang yang tidak puasa pun akan merasakannya. Dalam keletihan itu pula berkelebat wajah Emah dan Abahnya.
“Ah… Mah, seandainya Ananda sukses dengan cepat, harta benda sudah berlipat, pasti akan segera Ananda haji-kan Emah dan Abah”.
KRREKK..!! ia tersadar dari lamunannya, sebuah botol bekas air mineral terantuk di kakinya. Perlahan ia pungut kemudian Ia masukkan ke kantung kain yang setia bertengger di pinggangnya. Setiap kali memungut sampah, saat sampah itu ia masukkan ke kantung, ia selalu bergumam “Tuhan jika Engkau izinkan…. “.
Jika saja dikumpulkan, sejak tiga tahun lampau sudah sebanyak apakah tumpukan doanya itu, doa yang sama. “Tuhan jika Engkau izinkan…. “.
“Cah Bagus, aku disilihi gerobak saka Kang Narto” Mas Karyo tiba-tiba saja muncul dari samping kanannya. Ia tidak tahu sejak kapan Mas Karyo berpindah arah untuk mengambil gerobak. Ia pikir sejak tadi ia mengikuti arah langkah Mas Karyo. Ternyata Mas Karyo malah muncul dari samping kanannya.
“Wah, apik iki mas… bisa cepat kita mindahin karungnya”. Semangatnya beranjak, ia harus cepat-cepat memindahkan karung kentangnya. Duapuluh menit lagi ia sudah harus ada di kampus.
TIT TILIT TIT TIT…!! nada monoponik hand phone bututnya berbunyi. Di display hand phone nya tertulis: Calling UIN-Rofiq. Demi melihat nama penelpon itu ia jadi teringat jadwal presentasi makalahnya hari ini.
Pukul 10.00 nanti adalah jadwal mata kuliah tasawuf, pada pertemuan itu ia harus mempresentasikan makalah bersama kelompoknya. Agak sungkan, ia pijat tombol bergambar gagang telepon berwarna hijau itu.
“Assalamualaikum, opo Fiq? Iya…. Tapi makalahnya sudah kamu print out kan Fiq? He Eh… iya… soale kayaknya aku bakal terlambat 15 menitan…”.
Ia sedikit mengerutkan dahinya, roman mukanya bergurat penyesalan dan rasa bersalah “Iya… Insya Allah aku usahain… iya… aku pasti datang… iya… iya… maaf ya… iya… yuuk… makasih, wa`alaikum salam warohmatulloh…” TUT… TUT.. TUT.. sambungan telpon terputus.
Pukul 09.50 pekerjaannya baru selesai. Tanpa mengambil jatah makan paginya terlebih dahulu dan juga upah kerjanya, ia bergegas menuju Masjid Muttaqin yang terletak di dekat pasar.
“Kang tolong sampaikan sama Pak Karjo saya langsung berangkat aja… saya ada presentasi makalah sepuluh menit lagi”. Katanya tergesa-gesa. Ia tidak pamit kepada Pak Karjo terlebih dahulu. Kebetulan saat ia selesai mengangkat karung, Pak Karjo masih terlihat berbincang-bincang dengan pengantar kentang dari Temanggung itu.
Setelah membersihkan diri secukupnya ia langsung berangkat ke kampus. Biasanya saat berangkat ke pasar ia sekalian membawa peralatan kuliahnya. Ya, ia titipkan barang-barangnya itu kepada Kang Anas Habib takmir Masjid Muttaqin.
DRRRRTTT… DRRRRTTT… DRRRRTTT… hand phone bututnya bergetar-getar sepanjang perjalanan dari Pasar Beringharjo menuju kampus UIN. Ia tidak memedulikannya, ia harus cepat-cepat sampai di kampus. Teman-temannya pasti sudah menunggu cukup lama.
Tiba di kampus kira-kira pukul 10.12, Ia langsung bergegas ke lantai 4 menuju ruang 410. Saat tiba di depan kelas ia sedikit tertegun, sungkan. Ia mengintip dari celah kaca pintu, teman-teman kelompoknya terlihat sedang mempresentasikan makalah. Perlahan ia mengetuk pintu, kemudian ia buka.
“Assalamualaikum...!” hampir seisi kelas menujukan pandangan ke arahnya. Sekilas ia melihat gurat sumringah di wajah teman kelompoknya, kemudian terlihat merengut kembali.
“Anda masuk mata kuliah saya?” tanya Pak Dosen, tanpa diberi kesempatan menjawab, Pak Dosen sudah melanjutkan ucapannya “Silakan.. silakan… teman anda sedang presentasi jangan sampai membuyarkan konsentrasi”. Pak Dosen menyuruhnya bergegas duduk.
Tanpa basa-basi lagi ia langsung duduk di kursi hitam tempat presentasi. Sekilas ia melihat kepala Pak Dosen mengangguk, sepertinya Pak Dosen baru tahu kalau ia juga anggota kelompok yang sedang presentasi.
DRRRRTTT… DRRRRTTT… DRRRRTTT… hand phone bututnya bergetar-getar lagi, kemudian berhenti. Sudah sejak lama baterai hand phone bututnya itu ngedrop. Hand phone nya mati.
][
0 komentar:
Posting Komentar