Kamu masih cantik Fitri. Matamu masih seperti dulu, menundukkanku. Hmh… cahaya itu juga masih milikmu. Senang rasanya melihat kamu tersenyum. Apalagi mendengar renyah tawamu. Jujur, aku jatuh cinta lagi.
“Hi, kok jadi tambah kurus sih?”
Kamu masih perhatian ternyata, gumamku. Tambah kurus? Ah, mungkin sudah takdir Fitri. Selama merantau untuk kuliah aku hidup prihatin. Maklum, makan saja cukup sebungkusnasi kucing, tambah bakwan satu dan minum segelas teh hangat.
Mungkin kamu belum kenal apa itu nasi kucing?. Haha, ada-ada saja memang orang Jogja. Nasi yang tidak sampai satu kepalan tangan plus satu sendok sambal itu disebutnya nasi kucing. Mungkin maksudnya sama dengan porsi sekali makan kucing.
Ngomong - ngomong soal nasi kucing, aku jadi teringat Kang Mumu. Kamu tahu Kang Mumu kan? Pasti kamu masih ingat, Kang Mumu penjaga kantin sekolah kita. Dulu, sebelum aku berangkat ke Jogja dia meledekku. Katanya, mahasiswa tampang prihatin seperti aku ini, biasanya menjadi pelanggan nasi kucing. Mungkin, akan sama halnya sepertimu dahiku mengerut mendengar kata “nasi kucing”, apa pula itu?. Apa coba jawaban Kang Mumu.
“Nasi kucing itu, nasi yang diperoleh dari sisa orang makan di Restoran. Setelah itu dibungkus pakai kertas koran dan dijajakan. Yang membelinya mahasiswa yang bokek, tampang kayak kamu”. katanya. Haha.. bener nggak sih? Itu kesan pertamaku saat mendengar pertamakali. Eh, benar saja setelah sampai di Jogja nasi kucing jadi menu setiap hari. Untungnya bukan benar-benar nasi bekas. Ya itu tadi, nasi seporsi makannya kucing.
Tapi, kamu tambah cantik Fitri. Tubuhmu tambah ideal. Paling tidak dimataku. Aku jadi cemburu dengan waktu. Mengapa ia senantiasa bisa mengiringi perjalananmu. Sedang aku, hanya masa lalumu. Biarlah sejenak kubayangkan waktu itu, saat senyummu hanya milikku. Saat tawamu menjadi bahagiaku. Saat suaramu menjadi semangatku.
]©[
“Ari, ada salam dari Fitri”. Sarah setengah berteriak. Saat pulang sekolah itu aku masih ingat. Tiba-tiba saja Sarah mengatakan hal itu. Ada kamu di samping Sarah. Kulihat tanganmu membetot kerudungnya.
“Wa`alaikum salam”. Jawabku singkat. Aku seolah tak acuh. Tak ingin kuperlihatkan bahwa ada keinginan lebih di hati ini dari sekedar menjawab salam itu. Perasaanku yang sebenarnya.
Kalian mungkin pernah mengalami yang seperti ini. Titip salam, balas salam.
“Kok gitu doang, salam balik nggak?” Sarah menggodaku.
Sebelum sempat kujawab, kalian sudah berlari, saling kejar. Aku hanya tersenyum, bahagia. Ada perasaan berbeda saat kudengar kalimat Sarah tadi. Biarlah perkataannya hanya godaan saja. Aku tak perduli.
]©[
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar