Najwa


“Kamu nggak usah shalat di Masjid, kita jama’ah di kamar saja”.
Petang itu, kami tidak jama’ah shalat maghrib di Masjid. Hamzah teman satu asrama, kupaksa untuk jama’ah berdua di kamar. Rencananya, dia yang akan mengantarku ke Terminal Giwangan, Yogyakarta.

Hujan sejak sore hari tadi belum juga reda. Masih menyisakan rintik yang terkadang menghujan dan kemudian merintik kembali. Namun rintik petang itu menjadi bentuk lain di bibir mereka, setiap rintik menjadi lafal tasbih, tahmid dan takbir di bibir muslimin-muslimat yang khusyu’ di Masjid itu. Betapa terlihat nikmat dalam pandangan mata. Mereka terlihat seirama. Satu kata, satu perbuatan. Satu hati, satu tujuan. Ingin dekat dengan-Nya. Hilang sudah pangkat dan jabatan yang melekat. Bahasa, warna kulit dan status yang tersemat sirna seketika. Semua sama kecilnya, sama rendahnya di hadapan Dia, Pengasuh manusia.

Seandainya kita merenung sejenak, dalam hal kewajiban shalat sepertinya Allah malu-malu menunjukan rasa cinta-Nya kepada hamba-Nya. Apa gerangan? Pertama, Dia memfirmankan shalat sebagai suatu pekerjaan yang wajib. Sepertinya Dia sedang memaksa manusia agar menyembah-Nya. Padahal bukankah Dia dengan jelas berfirman bahwa sedikitpun kemuliaan-Nya tak akan berkurang, secuil pun tak rugi seandainya semua makhluk-Nya tidak menyembah-Nya?. Lalu jika Dia tidak butuh dengan sujudnya manusia seperti itu, untuk apa Allah mewajibkan shalat? sepertinya banyak sekali kerugian yang akan didapatkan manusia jika meninggalkan shalat. Oleh karena-Nya ia mewajibkan shalat, agar manusia tidak merugi. Kedua, Betapa waktu shalat adalah sekali lagi tanda cinta-Nya. Apalagi bagi penuduk yang tinggal di kawasan dekat khatulistiwa, seperti Indonesia. Lihatlah rentang waktu dari satu shalat ke shalat lainnya. Bukankah merupakan saat-saat yang tepat untuk mengistirahatkan badan?.

Rentang antara shubuh dan dzuhur begitu panjang. “Maksimalkan untuk kepentingan duniamu”, seolah bunyi tersiratnya seperti itu. Allah tahu manusia masih menyimpan energi yang cukup setelah di malam hari beristirahat. Semakin siang menjelang sore hingga malam hari rentang dari shalat ke shalat semakin pendek, bukankah ini sebuah rambu agar manusia adil terhadap raganya?. “Semakin sore, jika kamu masih perlu untuk duniamu, maka kamu harus sering beristirahat, karena, ragamu semakin lemah”. Lalu istirahat yang bagaimana yang berkualitas? shalat. Ketiga, Shalat yang seperti rambu untuk istirahat itu hukumnya wajib. Artinya, Tuhan menginginkan agar waktu beristirahat ini diisi dengan amalan berderajat paling tinggi. Amalan yang pahalanya berlipat-lipat dibanding denganleyeh-leyeh sambil melamun atau menggunjing si Bos yang semena-mena atau mengolok teman kerja yang pakaiannya lusuh nggak disetrika.

“Ini kunci motornya, kamu aja yang jadi driver-nya !” sambil kuberikan kunci motor, kukenakan jaket hujan warna biru. Kulihat Hamzah memakai jaket dengan warna yang sama pula.
“Siap Boss” setelah motor di starter, di cek lampu, rem, dan klakson serta kelengkapan surat-suratnya, kami pun berangkat.
]©[

Petang itu, meski hujan, jalanan cukup padat oleh duyunan kendaraan. Maklum, waktu para pegawai kantoran pulang kerja. Dan, tentunya waktu itu pula adalah giliran pedagang pecel lele, bakmi jawa, garang asam, dan nasi kucing membuka warung angkringnya.

Dalam perjalanan menuju terminal, sekali lagi aku terenung. “Rizki-Nya memang tak pernah putus, rahmat-Nya memang untuk semesta. Tak peduli tumbuhan, hewan atau manusia. Tak peduli manusia mulia atau yang lalai dan bergelimang dosa. Aku melihat kios penjual helm sudah dijejali para pembeli. Yang membuatku heran adalah fakta bahwa kios helm itu setiap hari selalu dipadati pembeli. Kutegaskan bahwa mereka adalah pembeli. Bukan pengunjung yang hanya melihat-lihat karena terpesona tetapi tak mampu membeli. Kebetulan kios helm itu tepat di depan warung pecel lele tempat aku biasa makan malam. Jadi, aku tahu betul masalah ini.

Aneh, apakah setiap hari penduduk kota ini bertambah? Apakah setiap hari penduduk kota ini ada yang membeli sepeda motor sehingga membutuhkan helm? Apakah penduduk yang tinggal dekat kios ini setiap hari kecurian helm sehingga selalu saja ada yang membeli helm ke kios ini? ataukah penduduk sekitar kios ini kaya semua sehingga ingin menghabiskan uangnya dengan mengoleksi helm?

Tiba-tiba nuraniku angkat bicara. Saat kudengarkan dengan jernih, kalimatnya mirip dengan ayat Al-Quran yang sering diulang-ulang dalam surat Al-Rahman, surat ke-55 dalam Al-Quran. “Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kamu ingkari?”. Kepalaku mengangguk mengikuti anggukan nuraniku dan bibirku bergumam “Segala puji bagi Allah, kalau bukan karena rahmat dan cinta-Mu ya Allah, tidak mungkin setiap hari kios itu akan dipadati pembeli. Sebagaimana tidak mungkin pula bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) akan senantiasa memperoleh penumpang, jika bukan atas kasih-Mu”.
]©[

Waktu menunjukan pukul 18.25 saat aku tiba di Terminal Giwangan. Kebetulan Bus Kota jurusan Yogya-Tasikmalaya sedang bersiap-siap berangkat, beruntung aku tidak terlambat. Setelah bersalaman dan saling mendo’akan, Hamzah pamit, tak bisa menunggu hingga bus yang kunaiki meninggalkan terminal.

Aku masuk melalui pintu belakang bus. Satu, dua, tiga, empat, lima, … jok paling belakang terisi. Satu, dua… satu, dua.. kuperhatikan lagi, sampai baris ketujuh dari belakang semua sudah terisi. Satu, dua, kosong… kuterawangkan lagi lebih ke depan, sepertinya cuma kursi itu yang masih kosong.
DEG! Di sebelah kursi kosong itu…perempuan muda. Sekali lagi kuterawangkan pandangku ke depan. Barangkali penglihatanku salah, barangkali di barisan lebih ke depan lagi masih ada kursi kosong. Namun, penglihatan pertamaku tak butuh dikoreksi lagi, memang hanya kursi itu satu-satunya yang masih kosong. Tak ada yang lain.

Cukup lama aku tertegun, sepertinya perempuan muda itu mulai menyadari kehadiranku. Ia menoleh ke arahku yang 1 meter dibelakang bahunya.
“Emhh..maaf Mbak, kursi ini kosong?” maksudku apakah kursi kosong di sampingnya belum ada yang menyewa.
“Oh, masih Mas… masih, silakan!” sambil sedikit tersenyum ia pindahkan tas kecil khas wanita yang tadi ia letakan di kursi sebelah sampingnya. Kursi yang tadi kutanyakan apakah sudah ada penyewanya atau belum.

Sebagai seorang lelaki, aku sangat menyukai senyumnya tadi. Elegan, atau apalah namanya yang pasti hingga saat ini pun senyum khasnya itu masih kuingat. Tapi, lagi-lagi penyakitku kambuh. Penyakit yang hanya akan datang saat harus berdekatan dengan lawan jenis, kikuk. Ya, aku selalu seperti itu.

Satu,dua, tiga… sepuluh detik berlalu kami saling diam.

Tiba-tiba dari arah depan seorang berseragam sambil membawa notes dan sebuah ballpoint berjalan lurus ke belakang sambil menggumamkan kata-kata, menghitung penumpang satu per satu.
Mesin dinyalakan, seorang kondektur masuk dari pintu belakang.

“Siap Pir….!” Teriak sang kondektur. Bus pun mulai melaju, keluar dari terminal.
Tiga menit berlalu, bus sudah melewati gerbang terminal. Belum terjadi komunikasi diantara kami. Agar tidak terlalu kelihatan kaku, kukeluarkan mp3 player dari tas ranselku. Kemudian kuletakan tas ranselku itu di rak tempat menyimpan barang yang berada tepat di atas kepalaku.

Beberapa saat berlalu aku sudah duduk kembali. Saat mp3 player kuhidupkan, tepat sebelum earphone menempel di kedua telingaku, tiba-tiba saja… perempuan muda itu menyapaku.

“Liburan atau lagi ada tugas Mas?” Tanya perempuan itu. Mungkin ia bertanya demikian karena aku memakai jaket almamater kampus. Ingin memastikan perjalananku kali ini liburan semata atau ada tugas organisasi kampus.
“Cuma liburan..” jawabku singkat.
“oh…” sambil manggut-manggut dan menebarkan pandangan ke segala arah perempuan itu menimpali. Suasana kembali seperti tadi, saling diam, tak ada komunikasi. Satu, dua, tiga… sepuluh detik berlalu. “Aku harus berbasa-basi” pikirku.
“Tujuannya ke mana Mbak?” akhirnya keluar juga dari mulutku.
“Oh, saya mau ke Bandung, mengunjungi teman di UNPAD”. Jawabnya.
“Oh ya, kenalkan mas, saya Najwa, Najwa Adelia Puteri. Hehe…bukannya mau promosi Mas, sebagai anak komunikasi saya harus memberikan informasi dengan jelas”. Tambahnya. Sambil sekali lagi melukiskan senyum khasnya itu Najwa memperkenalkan dirinya. Ia ulurkan tangannya yang serta merta kujabat.

Ah, entahlah. Aku tidak tahu aku ini termasuk orang seperti apa? Di hadapan teman-temanku yang berjilbab, benar-benar jilbab, teman-teman perempuanku yang benar-benar menutupi auratnya aku pasti mengajak mereka “bersalaman” dengan tidak berjabatan tangan. Dan aku menganggap itu hal yang semestinya kulakukan. Menghormati mereka sebagaimana mereka menjaga kehormatannya. Tetapi saat bersalaman dengan teman-teman perempuan sesama aktivis BEM, anak-anak pergerakan mahasiswa atau orang-orang yang seperti Najwa ini, aku melakukan jabat tangan. Menyentuhkan telapak tanganku dengan telapak tangan mereka. Aku juga merasa hal berjabat tangan ini harus kulakukan. Bukan karena tidak menghormati mereka tentunya. Apakah aku ini termasuk orang munafiq? Entahlah. Yang pasti aku tidak ingin disebut sebagai munafiq itu. Aku tidak mau ditempatkan Tuhan di kerak nerakanya. Hehehe…takut neraka pula aku ini rupanya.

Ternyata, Najwa adalah mahasiswa salah satu univeritas terkemuka di Yogyakarta. Dia pergi ke Bandung untuk bertemu temannya sesama anak komunikasi, mahasiswi UNPAD. Kalau tidak salah dia ingin bertukar informasi mengenai referensi perkuliahan dengan temannya itu. Namun karena bus jurusan Yogya-Bandung sudah habis, dia ikut yang jurusan Yogya-Tasikmalaya terlebih dahulu. Untuk kemudian dari Tasikmalaya dia akan langsung menuju Bandung.
Hadiah kecil untuk kelahiran ponakan cantikku:
Najwa Adelia Puteri, semoga menjadi anak shalihah. Amien.

0 komentar:

Posting Komentar