Cinta itu ... #1

Tet... tet.. tet.. bel tanda masuk berbunyi, aku masih berlari tergesa-gesa menuju sekolah. Kulihat, di gerbang sana, penjaga sekolah tengah menunggu, memencrongiku dengan kedua matanya yang seperti hendak menelanku mentah-mentah. Di depan gerbang kupelankan langkahku.

“Ckckckck, kamu ini, cepat!”. Terdengar suara penjaga sekolah itu membentakku. Dihardik seperti itu aku hanya menyeringai kosong.

“Selamat pagi pak...!” sapaku sambil berlalu ke kelas 1 MAN PK.

“Lebih semenit lagi saja, Akang suruh ¬kamu push-up satu set” terdengar suara penjaga sekolah itu meracau lagi.

Perlahan sambil menghela nafas, kulangkahkan kaki menuju kelas. Anak-anak kelas 1 MAN PK masih terlihat asyik bercanda, berkeluyuran di sekitar kelas. Kebetulan saat itu Pak Sarwono, guru Bahasa Indonesia pagi ini belum ada di kelas.

“Kesiangan lagi nich!” Sahut Ami sinis. Aku berlalu cuek, tak memperdulikan ucapannya.

Baru saja aku bermaksud untuk duduk, tetiba terdengar sapaan lembut dari balik pintu, “Permisi...!” suara itu cukup membuat suasana kelas hening sejenak. Saat itu waktu menunjukkan pkl. 07.15 WIB.

“Ada apa Bu..?” sapa Arfan. Arfan duduk sebangku denganku, ia menjabat sebagai ketua kelas.

Dengan lembut Bu Arni, petugas TU itu menjawab, “Tadi Pak Sarwono memberi tahu bahwa pada hari ini beliau tidak bisa masuk kelas, tapi beliau berpesan agar jam pelajarannya kalian gunakan untuk mendiskusikan materi tentang memparaprase puisi, di LKS halaman 42”.

“Tolong nanti ketua kelas menentukan masing-masing kelompok dan memandu jalannya diskusi” tambahnya.

Dengan bergaya kekanak-kanakan seisi kelas menjawab, “Ya Buuuuu...!!!”.

Petugas Tata Usaha itu pun bergegas kembali.

“Sayang ya jam pelajaran pertama sudah kosong” kata Angga sambil mengepalkan tangan dan mengayunkannya kebawah, YES!. Wajahnya memelas tapi terlihat senang, mengejek. Berulang-ulang ia melakukannya. Kemudian tertawa sambil mengadukan tangan kanannya dengan tangan Ipoey, TOSS!

“Padahal kita kan dah bayar SPP kan ya.. hhhhhhh… ” balas Ipoey menambah ejekan.

Di kelas kami, semuanya laki-laki. Begitulah peraturan sekolah menetapkan, begitu pun peraturan pesantren. Maklum, katanya sih kami anak-anak khusus, pilihan. Kami adalah anak-anak penerus para ulama, katanya juga. Yang akan menggantikan para pensyi`ar Islam yang sudah terlalu sepuh. Namun, kenyataanya seperti berseberangan. Kami seolah terlalu jauh untuk bisa mengemban tugas itu. Kebanyakan dari kami justeru lebih menyukai keilmuan yang sifatnya umum daripada ilmu keagamaan. Entah karena jenuh tiap hari menggeluti buku-buku bertulisan kriting (begitulah Fandi, tokoh dalam film Kiamat Sudah Dekat  menyebut huruf arab),  atau karena memang jiwa-jiwa kami terlalu “kotor” untuk bisa meresapi dan memahami teks-teks suci.

Seperti biasanya, di kelas kami tak pernah sekalipun terjadi apa yang namanya diskusi. Entah apa sebabnya, yang pasti tak lama setelah petugas TU itu pergi, hampir setengah dari kami sudah berhamburan keluar, begitupun aku. Aku mengajak sahabatku Arfan menuju kantin sekolah. Kebetulan, tadi ketika berangkat aku belum sempat sarapan. Padahal dari asrama ke sekolah Cuma berjarak sekitar 200 meter saja. Itulah mungkin salah satu contoh sifat malasku. Sesampainya di kantin, kupesan seporsi ketoprak dan Framboze kesukaanku. Sedang Arfan hanya berniat sarapan arem-arem dan bakwan.

Sambil melahap hidangan itu, kuterawangkan pandangan ke depan. Ke arah taman kampus yang tepat berada di depan kantin. Tanpa sengaja, kulihat sepasang muda-mudi ngobrol asyik sekali di bangku taman. Aku tertegun sejenak mencoba meyakinkan apa yang tengah kulihat, sosok itu tak asing lagi bagiku.

“Tyas... ya, itu Tyas..kaan? “ gumamku.

“EHm.. “ gertak Arfan yang tanpa kusadari sedang mengawasiku dari tadi.

“Ada apa dengan Tyas, Hya? Godanya. Mimik mukanya malah lebih jahil lagi.

“Makanya kalo sama cewek tuch nggak usah terlalu jaim, biasa aja lagi. Toh perasaan suka itu lumrah kok.. hehe.. , ya kalo udah kayak gini kena sendiri deh lo”. Arfan nyrocos kayak emak-emak arisan. Sok-sok menasihati padahal aku nggak minta. 

“Berisik!” Sergahku. Agak jengkel pula dibuatnya, bukan perkataan seperti itu yang kubutuhkan saat ini. Aku masih tak percaya, tak mengharapkan kebenaran atas apa yang kulihat kini.

“Maksud lo?” Hehe.. tambahnya mengejek.

“Eh Hya, asal lo tahu yah.. kita tuh manusia, wajar lagi kalau suka sama lawan jenis. Lagian kalau kamu tahu tuh ya, sebenarnya banyak lagi santriwati yang suka sama kamu, hanya kamu nya aja yang culun gitu, ndeso hahaha... Pake ikut-ikutan ngeharamin pacaran segala”.

Aku memang membenarkan apa yang baru saja dikatakan Arfan. Sudah fitrah memang seorang laki-laki menyukai perempuan. Tapi, aku beda. Aku punya prinsip. Niat yang mulai kusemai sejak pertamakali menginjakan kaki di Pondok ini. Dan, aku yakin jika aku ingin sukses nyantri di sini, aku harus memegang prinsip itu bagaimanapun caranya. Tapi, perasaan ini... yang sekarang kurasakan ini, sulit rasanya membohongi diri. Saat ini aku merasa cemburu. Ya, aku cemburu melihat Tyas sedang asyik ngobrol di taman sana.

“Kok bengong Hya? tanya Rida yang aku tak tahu kapan ia datang. Rida teman sekelas Tyas sejak di Pesantren al-Husna dulu.

“Itu tuh lagi merhatiin temen lo di taman, cemburu kali”. Arfan menunjuk ke arah taman dengan dagu dan kedutan alisnya. Kulihat Rida berpaling ke arah taman, tak lama setelah itu kulihat senyuman terkembang di wajahnya.

“Oh.. ngelamunin itu toh? Kenapa emangnya, ada yang salah dengan Tyas ma Haris? Rida melontarkan pertanyaan pada kami berdua. Dari kalimat Rida barusan, aku jadi tahu ternyata yang bersama Tyas itu Haris.

“A-Anu aku ngebayangin aja, kayaknya ngobrol berdua seperti mereka asyik ya, jadi kepengen hehe...” aku tersenyum semu, mencoba menutupi apa sebenarnya yang sedang bergejolak di dalam hatiku.

“Udah deh Hya nggak usah mengelak kayak gitu, kau mau tersenyum seperti apa juga tetap aja matamu terlihat kuyu, hehe...” lagi-lagi Arfan mengejekku. Sialan Arfan ini, sudah susah payah aku berakting.

“Kok wajahmu jadi merah kayak gitu sih Hya? Jangan-jangan apa yang dikatakan Arfan beneran nih? Beneran ya Hya?”, Rida menyelidik.

“Kamu lebih percaya sama aku atau Arfan? Aku kan dah bilang kalau aku cuma lagi ngamati bagaimana orang kalau lagi pacaran, kayaknya sih asyik gitu” kupikir nada suaraku sedikit bergetar, gugup.

“Kok kayaknya aku lebih percaya sama Arfan ya” Rida menyeringai menggodaku, terlihat  memamerkan gigi gingsul dan lesung pipit yang membuatnya terlihat manis sekali.

“Wah... nggak CS nih!” kataku.
“Hehe... akhirnya detektif Arfan yang menang” Arfan terlihat girang sekali. Senyum terkembang dan alis ia gerak-gerakan genit.

“Nggak deh nggak, mana mungkin aku lebih percaya sama pecinta wanita kayak Arfan”, Rida ganti menggoda Arfan. Kulihat Arfan jadi sedikit merengut. Kini giliranku yang menang. Kuacungkan jempol tangan terbalik ke arah Arfan. “Kena Lo!!”.

Memang sampai saat ini belum seorang pun yang tahu kalau aku suka sama Tyas. Mereka hanya tahu kalau saat ini Tyas lagi deket sama Haris. Tapi, dengar-dengar sih Tyas memiliki komitmen yang sama denganku. Tyas nggak mau pacaran. Baginya, pacaran itu buang-buang waktu dan mengganggu fokus belajarnya. Tyas terkenal sebagai anak yang alim, cerdas, dan luas wawasan ilmu agamanya. Ia pun selalu mendapat rangking pertama di kelas. Jadi, wajar kalau banyak yang suka sama dia. Termasuk beberapa ustadz muda yang masih membujang. Dan, tentunya aku pun begitu.

Tapi, aku harus bisa membuang jauh-jauh perasaan ini. Aku nggak boleh terjebak dalam hubungan yang kurang begitu bermanfaat, malahan mungkin lebih banyak madharat-nya. Apa yang akan terjadi jika suatu saat aku tak bisa menahan hawa nafsuku ketika sedang asyik berdua-duan. Mungkin, pertama-tama kami saling bertatapan. Lalu datanglah bisikan ke telingaku. Lalu, setiap kami mengikuti bujukan dari bisikan yang dihembuskan di telinga itu. Maka dapat dipastikan kami akan terjerumus pada hal yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya itu. a’udzubillaah min dzaalik.

“Emang bener yah, Tyas sama Haris pacaran?”, tanyaku. Sontak kulihat raut wajah Rida berubah. Seperti sedikit surprise dan penuh tanya. Dengan ekspresinya yang seperti itu, Ia palingkan pandang ke arah Arfan, dan yang dipandang memberi senyum simpul. Aku tak mengerti.

“Kenapa? pertanyaanku salah ya?”, lanjutku. Mereka saling pandang lagi. Entah janjian melalui ilmu telepati atau bagaimana, Rida dan Arfan membentuk gesture yang sama ke arahku, ibu jari dan telunjuk mereka membentuk pistol dan digoyang-goyangkan ke arahku. Dan lagi, dua-duanya tersenyum simpul.  
©

[Bersambung...]

0 komentar:

Posting Komentar