Ayah (2)

Ayah, pipimu kini sudah keriput. Namun begitu, kau selalu terlihat gagah bagiku. 
Nyatanya, bagaimanapun scientists bilang kalau atmosfer kita sudah tak maksimal lagi mereduksi panas mentari, lapisan ozon kita sudah bolong dimana-mana, kau masih sanggup berduel dengan sengatannya pagi hingga petang hari.
Ayah bagian kiri dan kanan pipimu barangkali sudah tak simetris lagi. Tapi biarlah Ayah, sungguh tak sedikit pun mengurangi kharismamu bagiku. Biarkan itu menjadi bukti kegigihan perjuanganmu untukku, untuk kami anak-anakmu. Tak ada kata lelah untuk kami, meski nyatanya kau semakin hari semakin lemah.
Yang aku tahu Ayah,,, Ayah tak akan mau berhenti menjaga kami, memastikan kami sejahtera, tak sedikitpun merasa lapar dan dahaga. Ayah, tahukah? Sebenarnya di masamu kini, kamilah yang harus berfikir begitu pada Ayah, bukan sebaliknya.
Ayah, mata elangmu, yang dengan satu tatapan saja anak-anakmu akan merasa ciut, kini hampir dikerut bengis oleh kelopak dan pelipisnya. Tapi Ayah, rasa cinta kami, kasih dan sayang kami, segala rasa ajrih dan penghormatan kami untuk Ayah, ketundukan kami pada nasihat dan ajaran baik Ayah tak memerlukan hujaman mata elangmu itu lagi, sungguh. Do'akan saja agar kami, meski hanya dengan gesture -mu atau rasa yang terlintas di benakmu pun, kami dapat menerjemahkannya dengan baik, mengerti apa yang Ayah maksud, yang Ayah inginkan dari kami, lalu mempersembahkannya pada Ayah dengan sebaik-baiknya. Yang sebaik-baiknya Ayah.
Ayah, aku mencintaimu.

0 komentar:

Posting Komentar