Ayah (1)

Aku sungguh beruntung mempunyai Ayah seperti dia. Ayahlah guru pertama dan utama dalam hidupku. Dia mendidikku apa dan bagaimana seharusnya hidup, tak pernah henti. Ayahlah lelaki idaman. Pemimpin keluarga yang memberi contoh dengan tindakan. Bukan hanya ocehan paksaan yang ia asupkan ke telinga kami, tapi nasihat yang ia contohkan lagi konsisten ia kerjakan.

Ayah, kau mungkin cukup tegas dan cenderung keras dalam mendidikku, semua anakmu. Meski begitu, semarah apa pun engkau kepada kami, sejengkel apa pun engkau, tak pernah sebatang lidipun melecut betis kami. Apalagi tangan kukuhmu di pipi kami. Tidak, tak sekalipun.

Ayah, masih ingatkah...? Saat bedug magrib tiba kau membiarkanku menangis lama. Sesenggukan sekeras-kerasnya di teras rumah. Saat kampung mulai rehat dari hiruk pikuk, kau biarkan aku menjerit-jerit takut. Kau bilang tak sudi mempunyai anak yang tak berangkat ngaji sepertiku. Padahal baru kali itu aku malas dan membolos. Padahal saat itu aku belum juga bersekolah formal, aku baru setahun lepas dari masa balita ku kira. 

Tapi kau tega! mengunci dan tak mengizinkanku masuk rumah. Membiarkanku yang masih lusuh dengan keringat jadi santapan nyamuk-nyamuk lahap. Ya kau tak pernah memberi toleransi untuk yang satu ini, ngaji!

Ayah, hingga saat ini pun aku belum bisa menirumu. Bangun sebelum pukul tiga pagi, mengaji, berjama'ah subuh hingga dhuha sebelum mulai beraktifitas. Begitu setiap hari. Bahkan saat kondisi tubuhmu sedang tak baik. Ya, di usiamu yang sekarang, sering secara tiba-tiba kau menggigil kedinginan. Membuat kami cemas. Berlapis-lapis selimut dan bantal yang kami tumpuk, saat seperti itu, tak pernah cukup untuk mengusir gigilmu. Tapi, esok paginya kau tetap dengan rutinitasmu "ayah sudah baikan" katamu.

Ayah, mungkin sekarang kau mulai gugup dan gagap berbicara. Kau bilang "sekarang ayah sudah tak bisa berkata dengan runut, nak!" Tapi akan selalu lekat dalam ingatan kami. Kau begitu fasih mendamaikan pasangan yang punya masalah keluarga. Berkali-kali kusaksikan  pasangan yang bertengkar kau persatukan. Kebijaksanaanmu selalu melingkupi mereka-mereka yang memintanya.

Biarlah sekarang kau sering gugup berbicara ayah, tak apa. Peranmu sebagai penyambung lidah warga sudah lebih dari cukup.

Ayah, aku mencintaimu.
dan akan terus mencintaimu, sampai kapan pun.

Ayah,
Serakus apa pun umur menggerogoti kematangan dan kebijaksanaan sikapmu,
merenggut keseimbangan fisik dan kesadaranmu,
merebut pesona kharismamu
Ketahuilah Ayah...
Kau tetap ayahku yang terhebat.
Panutan kami sampai kapanpun.
Hingga kapanpun.
Selamanya.

Ayah, aku mencintaimu.
Akan selalu begitu.

رب اغفر لي و لوالدي و ارحمهما كما ربياني صغيرا. آمين.

Tlogowono, August 19, 2017

0 komentar:

Posting Komentar