Sekitar sepuluh meter dari Asrama Galuh Rahayu, suara degung sudah terdengar. Alunan alat musik tradisonal sunda itu terdengar merdu. Ah, kalau mendengar alunan musiknya selalu saja membuat rindu kampung halaman. Selalu ada daya magis yang seolah berkata melalui alunannya“Pasundan Lemah Cai nu Aing, Lemah Panineungan!”.
Dudu memarkir motor tepat di halaman sebelah utara asrama. Halaman yang memang dijadikan sebagai tempat parkir. Sekilas tampak lampu-lampu panggung pergelaran sudah menyala. Merah, kuning, hijau seperti warna pelangi. Layar berwarna putih seukuran 150 cm x 150 cm terlihat mengapit sisi kanan dan kiri panggung.
“Hi, kok jadi tambah kurus sih?”.
Suara itu terdengar tak asing bagiku. Begitu kukenali.
“Hi… Mimi… Apa kabar? Damang?”. Tambahnya
Ah, benar saja ternyata kamu Fit. Ternyata waktu tak bisa menghapus memori bagaimana suaramu terdengar. Ternyata jarak tak meluputkan pandanganku untuk dengan super-cepat mengenalimu. Ternyata hatiku tak bisa berkata lain selain…Kamu masih cantik Fitri. Matamu masih seperti dulu, menundukkanku. Hmh… cahaya itu juga masih milikmu..
“Duhai… ternyata ada mojang Bandung di sini? Pangestu, sehat, Alhamdulillah. Sawangsulna kumaha? Sehat kan?”
“Selalu sehat atuh, masa calon ahli gizi malah sakit-sakitan. Kalau Cuma perjalanan dari Bandung ke Jogja mah nggak bakalan membuat tidak sehat, hehe…”
Aku ingat lagi sekarang. Dulu, kita sempat berdiskusi sengit mengenai kuliah. Dimana kamu dan aku meneruskan kuliah? Haruskah kita kuliah di tempat yang sama? Prodi apa yang tepat untuk masing-masing?. Kita berdebat alot waktu itu… ada-ada saja memang. Tapi, aku rindu saat itu.
“Sugeng rawuh saking Jogja….!” Lagak ku sok berbahasa jawa.
Kamu hanya tertawa renyah. Ah, aku jadi lupa belum mengisi buku tamu. Gara-gara kamu menyapaku tadi. Aku jadi lupa, tujuan awalku adalah mengisi buku tamu. Kenapa juga kamu harus berada di tempat penerimaan tamu. Dan, mengapa pula kamu menjadi orang pertama yang berbicara denganku. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya.
“Berapa orang dari Bandung?”
“Cuma dua orang”.
“Ah, katanya satu bis?”
“Hehe… meski banyak orang tapi rasanya seperti cuma berdua di bis”.
Balasmu sambil melirik ke arah kanan. Seorang lelaki. Dia terlihat tersenyum ke arahku. Senyum penuh kebanggan, penuh kemenangan sepertinya. Dia menyodorkan tangannya ke arahku.
“Rendi”.
Aku baru sadar sekarang, sedari tadi,ada seorang lelaki di sampingmu. Aku baru tersadar, sepersekian menit tadi aku larut dalam mimpi-mimpi masa lalu. Aku baru tersadar kata “kita” hanya dahulu. Sekarang kata itu menjadi “aku” dan “kamu”. Dan yang membuatku semakin sadar, baru saja, ternyata sudah ada “Dia” di sisimu. Ah, ternyata aku baru tersadar siapa aku. Kasihan.
]©[
Tamat.
0 komentar:
Posting Komentar