DeJa Vu

Awalnya saya ragu untuk menyampaikan cerita ini, lebih tepatnya, untuk mengizinkan penulis mengisahkan kembali cerita ini. Saya takut ini menjadi ‘aib bagi Pondok yang saya cintai, Kampus Biru, Darussalam. Namun setelah berdiskusi panjang, dan pada kesimpulan bahwa agar ini menjadi pelajaran- ‘ibrah untuk pembaca-khususnya para santri. Dan saya yakin, jika pembaca dan para santri membaca hingga akhir cerita, pasti akan tahu ‘ibrah yang saya maksud. 

Beberapa nama dan tempat kejadian sudah penulis samarkan, dan memang setelah draf naskahnya saya baca, ada beberapa fragmen cerita yang didramatisir oleh penulis. Tetapi inti cerita yang saya harapkan menjadi ‘ibrah itu tetap terjaga. Akhirnya saya setuju dengan naskah cerita sebagaimana yang anda baca saat ini. 

Terimakasih saya ucapkan kepada penulis yang rela berwara-wiri menjumpai saya, tentu di tempat seperti ini saya tak bisa menjamunya dengan baik. Tempat seperti yang saya tinggali sekarang ini, mudah-mudahan tidak akan pernah ditempati santri-santri lain seperti saya.

-.-.-.-.-.- -.-.-.-.- 

[11.20] WIB 
Peluhku terus mengalir, semilir udara dari mesin pendingin tak jua mampu menghentikannya. Udara memang sedang terik, saat ini matahari hampir tepat di atas kepala. Tapi, bukan itu yang membuat peluhku tak henti mengucur, toh mesin pendingin ruangan sudah kusetel hingga enambelas derajat celcius. 

Ini keputusan berat bagiku. Ini berkaitan dengan segala hal, termasuk nuraniku. Tunis, Bendahara Umum Partai dan Ade Sang Sekjen masih menunggu keputusanku. Ini seperti de javu kejadian dua puluh tahun silam di Kamar Al-Juwainy. Saat Neo dan kawan-kawan menunggu keputusanku. Di kamar tersempit Asrama Asy-Syafi’i, Pondok Pesantren Darussalam, di almamaterku itu cerita bermula. 
***

“Ayolah Pek…”. Borneo terus saja membujukku. Dari beberapa saat lalu aku masih bergeming, masih ragu. Aku tak ingin Suu-ul Khaatimah, pikirku. Predikat sebagai santri teladan, tak ingin kuakhiri dengan meruntuhkannya, terkena ta’zir dan disaksikan seluruh santri. Yang lebih buruk, surat kelulusan ditahan pondok. 

“Kapan lagi Nul? Bulan depan kita 'dah gak bakalan di sini lagi. Ini bakal jadi kenangan kita. Yang terakhir, mungkin!”. Imran mencoba meyakinkanku. Kata-katanya membuat jarum timbangan akalku bergoyang-goyang. Iya juga ya? Coba saja! Sekali saja! Sekali dan yang terakhir deh! 

“Eh Pek, jadi santri itu janganlah luruuuuus jak terus. Sekali-kali bengkok siket ngape? nakal siket tak ape lah…”. lagi-lagi Borneo memprovokasiku. Seakan menguatkan kalimat demi kalimat yang tadi Imran sugestikan padaku. Coba! Ayo coba! Coba saja! Sekali-kali! 

Pek, kalau kau tak pernah nakal neh, kelak kau tak akan punya cerita menarik, kau cerita ke anak-anakmu hanya ngaji-sekolah-tidur. Ngaji lagi, ngaji lagi, sekolah lagi,sekolah lagi apa menariknya?” 

“Iyah Nul, cerita yang seru-seru itu biasanyah yang agak nakal-nakal gituh. Bener tuh kata Si Neo, kalo cuma ngaji-sekolah-tidur mah nggak ada seru-serunyah”. 

Dahsyat sekali kata-kata Si Irfan barusan. Mengguncang-guncang pikiranku, jika tadi Imran sudah menggoyang-goyangnya seperti jarum timbangan, maka apa yang disampaikan Irfan baru saja, seperti gambar di TV Ceu Yayah yang terguncang. Gambar TV di kantin itu biasanya jumpalitan saat ada angin kencang atau saat sepeda motor mendekat lewat. Semakin angin bertiup kencang atau semakin dekat motor dengan kantin, gambar pun semakin kencang berjumpalitan. 

Apa yang Neo bilang, yang dibuat lebih bombastis oleh Irfan itu diamini juga oleh akalku. Sejak tiga tahun yang lalu, sejak mulai mondok aku tak pernah berani “seru-seruan”, seperti yang mereka bilang. Selalu nurut dengan aturan pesantren. Aktivitasku hanya rutinitas ngaji-sekolah-tidur. Apa menariknya kalau kuceritakan nanti? 

Tak ada cerita tidur di atap kamar mandi saat yang lain dengan rasa kantuk harus jama’ah shubuh, atau kucing-kucingan dengan pengurus pondok saat para santri kuliah shubuh. Tak ada cerita didisplay di depan seluruh santri putera dan puteri sambil di jewer Kang Haji Hasan, ta’zir bagi yang minggu sebelumnya bolos pengajian Adabun Nabawy, atau cerita berendam di kolam sementara jama’ah kuliah shubuh yang pulang melewati kolam sambil mesem-mesem melihat ke arahku. Cuma ngaji-sekolah-tidur, Apa serunya?. 

“Ayo Nul, sekali-kali lah… tunjukin kalau kita selalu solid. Bersama kita bisa! Kalow kata Tim Kampanye Pak SBY mah. Lagian bentar lagi kita juga lulus, demi tetap menjaga kesolidan anak-anak Asy-Syafi’i lah... sekali-kali melanggar aturan pondok nggak apa-apa Nul…”. Kata Dadan. Coba! Sekali-kali… Cuma sekali ini saja! Tunjukin kalau kamu punya solidaritas! Semakin kuat saja bisikan-bisikan itu. Apa salahnya sekali-kali melanggar nidzham pondok?.

Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar